Halaman

Rabu, 29 Agustus 2012

Silent Talk


“Kamu tidak lagi mencintainya”

Begitu kalimat pendek yang keluar dari mulutku malam itu. Kamu hanya diam, menunduk. Entah apa yang sedang berkecamuk di dalam kepalamu, yang pasti aku bisa melihat kegalauan tergambar dengan sempurna di sana. Kebimbangan yang bercampur dengan ketidakrelaan melepas hubungan yang sudah dengan mati-matian kamu pertahankan. Bahkan sampai sekarang ketika dia yang kamu pertahankan itu sudah beranjak sekian lama. Meninggalkan jejak berupa gambar-gambar kenangan buram.

Sunyi. Waktu seakan membeku sesaat setelah aku menyadarkanmu kalau kamu tidak lagi mencintainya. Detik tidak rela untuk sekedar beranjak atau beringsut, membawa kita pada titik yang sama untuk beberapa saat. Terpenjara. Dibelenggu bisu.

Aku tahu kalau kamu mengamini. Membenarkan apa yang sudah aku katakan barusan. Tapi egomu terlalu besar untuk mengangguk dan mengiyakan semua kenyataan kalau sebetulnya kamu sudah tidak lagi mencintainya. Kamu hanya terjebak dalam palung yang membuatmu nyaman memelihara kesakitan. Kamu nyaman diayunambingkan pengharapan kalau dia akan kembali pulang seperti yang selama ini kamu yakini. Kamu dibutakan perasaan yang sebetulnya samar.

“Jangan menangis! Aku tidak suka melihatmu mengobral air mata”

Air mata yang dulu pernah tertumpah di sana masih menyisakan jejak, membentuk ceruk-ceruk panjang seperti anak sungai yang kering diganjar kemarau. Tidak usah kamu isi lagi ceruk tersebut dengan air mata baru, air mata yang timbul karena aku berteriak menyadarkanmu kalau sebetulnya kamu tidak lagi mencintainya. Kamu hanya memelihara perasaan kosong yang kamu tahu benar kalau itu tidak pernah ada gunanya. Kamu hanya mencandu kebahagiaan semu yang dulu sempat tergambar meski sekarang tinggal bayang-banyang.

Perlahan kamu kemudian mendongakan kepalamu. Menatapku tepat di bagian mata. Aku melihat kemarahan di sana, emosi yang tersulut karena aku lagi-lagi menyadarkanmu untuk bangun dan berlari. Meninggalkan apa yang selama ini kamu pelihara. Beranjak dari titian yang membawamu selalu berjalan mundur dan menggapai-gapai masa lalu yang sudah usai dulu.

Kamu menjelma menjadi sosok asing yang tidak lagi aku kenal. Kamu berubah. Sedemikian hebatkahnya dia? orang yang dulu mati-matian kamu cinta meski dia tidak mencintaimu dengan kadar yang serupa. Sedemikian berharganyakah dia sehingga kamu rela merubah tabiatmu dan berganti menjadi sosok asing yang sama sekali tidak aku kenal.

Dia tidak seberharga itu, kalaupun dia memang berharga, dia tidak layak mendapatkan perlakuan seperti apa yang sudah kamu lakukan. Bertahun-tahun kamu masih saja memelihara ingatan bahwa kamu memujanya. Bertahun-tahun kamu masih saja berharap kalau dia akan kembali ke pelukanmu yang nyata-nyata sudah dia tolak dari awal. Apa yang kamu hendak perjuangkan?

Dia tidak mencintaimu. Kamu juga sudah tidak mencintainya. Kamu hanya belum rela berpisah dari kenangan yang pernah tergambar samar. Kamu belum ikhlas melepas semua ingatan yang justru membawa selalu duduk di kursi seorang pesakitan. Bangunlah kemudian berlari, mungkin butuh awahan dengan mengambil beberapa langkah ke belakang tapi jadikan itu sarana untuk mengumpulkan kekuatan sebagai bekal bukan sebagai sesuatu yang melemahkan.

Kamu boleh menengok sebentar. Gunakan waktu yang sedikit tersisa kalau kamu ingin mengenang. Setelah itu enyahkan kalau perlu bakar hingga menjadi abu yang harus kamu larung di lautan. Biarkan dia larut dan terencerkan dengan air yang menggenang sejauh mata memandang. Biarkan dia mengambang sebelum lambat laun dia tenggelam dan menghilang. Biarkan kenangan itu meregang nyawanya karena kehabisan nafas dan paru-parunya kembung terisi cairan. Itu lebih baik.

Kamu sudah tidak lagi mencintainya. Sudah saatnya kamu menemukan pelabuhan baru tempat kamu melemparkan jangkar dan bersandar. Jangan banyak memilih jenis lautan, karena bisa saja yang berombak justru akan mengantarkanmu pada tujuan sementara yang tenang akan mengantarkanmu pada kehancuran. Gunakan instingmu. Pertajam nalurimu. Kamu sudah sedemikian berpengalaman sehingga tidak perlu lagi ada kesakitan di depan.

Mari kita sudahi saja perbincangan kita malam ini. Perbincangan dua orang yang sudah sekian lama saling mengenal. Perbincangan yang dilakukan dalam diam. Aku duduk di ruang tamu sementara kamu berdiam di dalam kepalaku.

Sabtu, 18 Agustus 2012

Penghujung Ramadhan


Tidak terasa Ramadhan sudah akan berpamitan di batas senja hari ini. Bulan yang agung, bulan yang kedatangannya dinantikan hampir seluruh umat muslim di muka bumi. Bulan yang oleh sebagian banyak orang dijadikan ajang untuk mempertebal keimanan dengan melakukan berbagai ritual ibadah untuk sekedar mendekatkan diri dengan Sang Maha Pengendali Alam. Bulan penuh maghfiroh, penuh pengampunan.
Meskipun katanya semua syaitan dibelenggu di neraka, tetap saja ada yang lolos sebagian. Buktinya  ada saja godaan yang melecutkan emosi dalam diri, godaan yang menyulut hawa nafsu sehingga tidak bisa mengendalikan amarah. Godaan-godaan yang seharusnya bisa ditaklukan dengan sebaris kalimat istigfar. Godaan-godaan yang sebetulnya bisa dihindari dengan menjaga pandangan dan hati untuk tidak terjerumus pada prasangka dan ghibah berkepanjangan.
Dan saya, Apisindica, hanya seorang manusia kebanyakan. Manusia yang tidak tahan godaan. Manusia dengan sumbu emosi yang sebegitu pendek sehingga gampang sekali meledak oleh sesuatu yang tidak seharusnya. Puasa hanya dijalani sebagai ritual menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya semisal makan dan minum, tapi saya sering alpa menjaga diri dari kegiatan yang akan membatalkan pahalanya. Saya masih sesekali bergunjing baik secara langsung maupun perantaraan lintasan hati. Saya masih mengumbar amarah entah di kantor atau di rumah. Saya masih seringkali alpa.
Ramadhan akan segera berpamitan. Tidak afdol rasanya ketika sesuatu akan beranjak, saya tidak mengantarnya sampai ke haribaan. Saya ingin melepas ramadhan dengan penuh suka cita, penuh kemenangan karena setidaknya saya sudah melewatinya sebaik apa yang saya bisa. Urusan pahala biar hanya Allah yang menentukan dan memberikan takaran. Saya sebagai hamba hanya bisa pasrah dan berdoa semoga saja apa yang sudah saya lakukan selama bulan ramadhan ini diganjar dengan pahala yang sesuai.
Di batas senja ketika ramadhan benar-benar akan beranjak nanti, saya ingin membisikan sebaris pesan agar dia tidak lagi sungkan untuk datang di tahun depan. Saya juga minta didoakan agar ketika dia datang dengan pasti tahun depan, saya masih bisa diberi kesempatan berupa umur yang panjang sehingga bisa menyambutnya dengan lebih siap lahir batin.
Ramadhan tinggal sebentar, bulan baru akan segera datang. Bulan baru sebagai tanda dimulainya sebuah kemenangan. Saya ingin memulai bulan baru yang penuh kemenangan ini dengan meminta dimaafkan atas segala dosa, alpa dan noda yang sudah tergambar selama ini. Dosa baik yang saya sadari maupun yang tidak sengaja tercipta begitu saja. Insya Allah, saya juga akan memaafkan kekhilafan dan kesalahan semua handai taulan.
Akhirnya, saya, Apisindica pemilik Taman Aksara, ingin mengucapkan :
“Taqabaalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum”
(Semoga Allah menerima amalan saya dan kamu, amalan puasa saya dan kamu)
“Ja alanallahu wa iyyakum minal aidzin wal faidzin”
(Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang kembali beruntung)

Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1433 H
Mohon Maaf Lahir dan Batin

Selasa, 14 Agustus 2012

Berpisah


Benda itu semakin berdebu seiring waktu. Tanpa pernah tersentuh, debu menumpuk ibarat karat yang menggerogoti hampir semua permukaannya. Mengaburkan sosok aslinya yang sebetulnya mengkilat dan berkilau.

Semenjak kehadirannya, benda itu tak pernah berpindah tempat. Tetap teronggok di atas meja seperti ketika pertama kali tiba. Kehadirannya dulu mungkin ambigu, didatangkan dengan fungsi yang jelas tapi entah untuk apa. Kalaupun akan disebut sebagai hiasan, benda tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai hiasan. Tapi baiklah, kita sebut saja dia sebagai hiasan meja. Penghuni salah satu sudut yang seringkali terabaikan.

Saya tidak mengerti kenapa dulu benda itu saya datangkan. Dari awal saya tahu kalau saya tidak akan menggunakannya sesuai fungsi. Kegiatan yang seharusnya melibatkan benda tersebut tidak pernah saya jamah, entah karena alasan kesehatan atau karena alasan karena saya memang tidak suka. Jadi kalaupun benda itu digunakan pasti akan melenceng jauh dari fungsi aslinya. Itupun dulu, sekarang dia sudah benar-benar terabaikan. Bak pesakitan yang hanya menempati sebuah pinggiran, dan berdebu.

Kamar saya yang asosial membuatnya semakin tidak pernah terjamah peradaban. Mungkin dulu saya membelinya untuk berjaga-jaga kalau suatu hari kamar saya tidak lagi asosial, ada yang berkunjung kemudian membutuhkan kehadiran benda tersebut. Daripada mengotori ruangan, lebih baik saya menyediakan benda tersebut. Setidaknya membantu saya untuk tidak berjibaku dengan urusan membereskan kamar yang tidak saya suka. Tapi itu hanya sebatas teori. Sampai saat ini kamar saya masih asosial, dan benda itu tetap dingin mengigilkan kebisuan.

Harusnya saya pindahkan saja benda itu, atau kalau perlu saya buang sekalian. Tapi niat itu selalu urung sebelum eksekusinya benar-benar dilakukan. Saya masih berfikir bahwa suatu saat saya akan membutuhkan benda tersebut, entah akan sesuai dengan fungsinya ataupun tidak.

Ada sedikit ketidakrelaan di hati saya ketika harus sekedar menyingkirkannya. Entah kenapa, tapi rasanya berat. Seperti akan berpisah dengan sahabat lama yang sudah menemani saya bertransformasi. Sahabat yang menjadi saksi bisu tentang harapan-harapan yang saya umbar ke udara. Mungkin dalam ketidakterjamahannya, diam-diam dia mengucapkan amin atas semua doa yang saya ucapkan. Atau bisa jadi dia ikut berdoa tentang sesuatu yang akan membuatnya menjadi difungsikan. Entahlah.

Tapi kemarin akhirnya saya menyerah. Saya buang benda itu ke dalam tempat sampah di depan kamar. Bukan karena saya mengubur semua impian yang berkenaan dengan benda tersebut, bukan juga saya ingin menyelamatkannya dari kesunyian panjang. Satu langkah ceroboh membuatnya membentur lantai dan menjadikannya serpihan. Umurnya tidak panjang, bahkan dia berakhir sebelum dia bertemu jodohnya.

Setelah kejadian itu kemudian saya berdoa, semoga saya tidak bernasib seperti asbak berdebu yang saya simpan di atas meja. Dipaksa menyerah oleh keadaan ketika belum bertemu dengan pasangan yang seharusnya. Sebatang rokok. 

Jumat, 10 Agustus 2012

Rumah Masa Lalu


Dia datang lagi. Membawa turbulen yang masih sama. Memporakporandakan keinginan yang sudah lama rapi tersimpan, menarik pada dimensi yang tidak lantas bisa dijelaskan.

Dia datang lagi setelah sekian lama menghilang. Menghadirkan kegundahan yang dulu pernah berhasilkan aku disembunyikan. Memang tidak hilang benar karena ternyata aku tidak punya lebih keberanian untuk memberangusnya hingga menjadi arang. Aku memilih menyimpan baranya, menjaganya agar masih bisa berpendar hingga saat ini. Entah untuk apa. Bodoh.

Aku tahu dia tidak lagi sama. Bahkan ketika dia memutuskan untuk menyudahi apa yang pernah hati sepakati dia sudah menjelma menjadi sosok asing yang tidak bisa lagi dikenali. Dia menanggalkan semua yang pernah kami alami sementara aku dengan motif yang sampai kini tidak dimengerti tetap keukeuh menyimpannya. Aku hanya tahu kalau aku akan tetap mengaguminya, tidak peduli waktu justru memisahkan kami pada dimensi yang saling terjauhkan.

Dia datang lagi. Dalam jarak yang mendekat setelah kemarin sempat terpisahkan oleh batasan regional. Tanpa menggagas apa-apa dia hadir, sementara aku gemetar bahkan hanya dengan membayangkan kalau ada suatu waktu dimana kami pasti akan bertemu. Direncanakan ataupun hanya kebetulan, aku tahu kalau takdir pasti akan mempertemukan. Dia dengan perasaan mungkin hanya menganggap pertemuan dengan teman, dan aku dengan pengharapan yang sama seperti masa silam. Bodoh.

Dia datang lagi. Mengisi rumah masa lalu yang aku jaga halamannya dari alang-alang agar tidak berkesan muram. Rumah masa lalu yang pernah kami tinggali dulu. Rumah berjendelakan pemandangan ketika kami bertautan dan berlarian sambil saling mengenggam.

Rumah itu tidak pernah aku tinggali. Sepi. Aku hanya menjaganya dari rayap yang akan membuatnya lapuk dimakan pengharapan. Dan kini ketika dia datang lagi dan menempati salah satu ruangannya, aku hanya akan mengamati dari jauh. Lewat jendela yang genap terbuka, aku hanya ingin mengagumi. Bodoh.

Rumah itu memang rumah masa lalu. Rumah yang harusnya aku runtuhkan hingga rata dengan tanah, hingga tidak ada lagi aroma menyeruak yang akan menyulitkan ketika ingin menerusakan perjalanan.

Sayang aku memilih jalan yang berlainan, rumah masa lalu itu hingga kini masih ada. Di sini. Di salah satu sudut hati yang nampaknya sudah mengeras bagai batu.

Senin, 06 Agustus 2012

(bukan) Teman Baik

Saya ingin menjelma menjadi seorang teman yang bisa diandalkan, bukannya dimanfaatkan. Bukan hanya karena saya tidak sungkan mendengarkan, atau sesekali memberikan saran yang terkadang tepat sasaran kemudian saya dimanfaatkan. Dimanipulasi untuk selalu ada ketika dibutuhkan tetapi tidak diacuhkan ketika kehidupan seseorang yang disebut teman tersebut sedang berjalan sesuai dengan keinginan.

Lama-lama saya bosan.

Dulu saya merasa mungkin saya bukan orang yang enak untuk dijadikan pacar, seseorang yang bisa diajak berbagi hati atau sekedar bertautan pikiran dalam kerangka kasih sayang. Saya terlalu egois sehingga seringkali hubungan yang sudah diinisiasi harus berakhir dengan berbagai alasan. Saya bukan pecinta yang beruntung, tapi saya merasa sangat diberkahi karena dikelilingi banyak kawan yang bisa saya andalkan. Setidaknya menghibur ketika saya sedang banyak pikiran, mengalihkan masalah ke bentuk yang jauh lebih menyenangkan.

Saya bersyukur karenanya. Dulu. Tapi kini satu per satu banyak teman yang terjauhkan karena satu dan lain hal. Dan saya memaknainya sebagai sesuatu yang wajar. Bagaimanapun keadaan tidak pernah bisa dipertahankan seperti apa yang diharapkan. Waktu berperan, hubungan individu campur tangan. Faktor-faktor itu akan membuat masing-masing orang melesat dengan busur pada jalan yang berlainan. Memisahkan badan meski pikiran masih bisa bertautan melalui banyak sarana yang bisa digunakan.

Meski begitu tetap saja saya tidak ingin dimanfaatkan. Bukan berarti karena saya memiliki (mungkin) hati seperti peri, kemudian saya diintimidasi. Dihadirkan hanya ketika dibutuhkan, dan dianggap hilang ketika semua masalah sudah menemui terang. Saya keberatan, walaupun seharusnya saya tidak berlaku demikian. Saya meradang meskipun sebetulnya saya bisa saja bersikap lapang. Mungkin bagi mereka yang menganggap saya kawan, saya harus bisa diandalkan untuk kemudian tidak diacuhkan.

Ternyata selama ini saya bukan seorang teman yang baik seperti yang saya pikirkan. Buktinya saya masih merasa perlu balasan atas apa yang sudah saya belanjakan. Butuh pengakuan bahwa saya adalah seorang teman yang bisa diandalkan. Penuh pamrih saya ingin eksistensi saya dihargai, dinilai dengan takaran yang lebih dari orang padahal sebetulnya saya tidak banyak berperan. Saran mungkin bisa saja diambil dari sembarangan orang, tetapi kenapa ketika itu muncul dari mulut dan pikiran saya kemudian saya meminta bayaran.

Tapi bayaran yang saya minta bukan uang atau sanjungan. Bukan juga predikat sebagai peri penolong yang selalu punya solusi atas masalah yang tak pernah berhenti menghampiri. Bukan itu. Jauh di dalam hati, saya justru senang ketika bisa terlibat dalam kehidupan seorang teman. Menjadi sedikit amunisi untuk keluar dari problematika yang tak kunjung reda. Menjadi saksi pergulatan yang akan mengantarkannya pada podium sebagai pemenang. Saya hanya ingin dianggap ada justru ketika teman tersebut sedang tertawa dan mengangkat piala. Tidak perlu menyebutkan nama saya, cukup melirik sejenak dan melemparkan senyuman tipis pada saya yang mungkin masih berdiri di tempat yang lambat laun menjadi tidak terinderai.

Saya ingin tetap bisa terus diandalkan. Memberi seorang teman sedikit sudut pandang untuk keluar dari persoalan dan bukannya menambah drama pada kehidupannya yang tak kalah dengan sinema di layar kaca. Tapi saya juga bukan wahana pemacu adrenalin di taman bermain yang hanya didatangi ketika kepala terasa mau pecah karena masalah untuk kemudian ditinggalkan ketika beban yang bergelayut telah surut.

Saya tahu, saya belum bisa menjadi seorang teman yang dikatagorikan baik atau menyenangkan. Karenanya saya minta dimaafkan.

Note : Ditulis untuk seorang teman. Saya menyesal karena percintaan jarak jauhmu tidak menemukan jalan keluar. Tapi saya tidak menyesal karena saya memutuskan untuk berhenti peduli. Maaf.

Kamis, 02 Agustus 2012

Gara-gara Lengan

Dulu waktu saya masih kelas 1 SMP, dia mendapat kecelakaan yang lumayan hebat. Saya ingat, hari itu hari minggu, seperti biasa dia menghabiskan minggu pagi dengan bersepeda keliling kota. Tidak ada firasat apa-apa karena kegiatan itu rutin dia lakukan setiap minggu pagi ketika kesibukan tidak terlalu mengikatnya. Sekedar berolah raga, sekedar menyehatkan jantung. Begitu alasan yang selalu dia kemukakan. Tapi hari minggu itu berbeda, entah bagaimana ceritanya dia bertabrakan dengan angkot. Beberapa tulang di badannya patah, banyak gigi di mulutnya rontok.

Saya sedih. Otak kanak-kanak saya belum bisa menganalisis lebih, waktu itu saya hanya tidak ingin kehilangannya begitu cepat. Saya masih membutuhkannya, saya masih ingin bergantung kepadanya. Saya berdoa sesering saya menghela nafas, saya melafadzkan hampir semua ayat yang saya bisa. Saya terlalu menyayanginya.

Tuhan mendengar doa saya, doa kami semua. Waktu menyembuhkan. Lambat laun dia kembali pulih, perlahan dia kembali disibukan dengan banyak kegiatan dan anehnya dia tetap saja menyukai bersepeda seakan tidak pernah ada trauma. Tapi saya yakin setelah kejadian itu dia menjadi lebih berhati-hati apalagi dia tahu kalau banyak yang menyayanginya, terutama saya.

Tahun terus bergerak dan saya pikir kejadian itu serta trauma yang ditimbulkannya akan berhenti sampai titik dulu. Ternyata saya salah, kami semua salah. Kejadian itu menimbulkan titik yang terus membesar, seperti sel kanker yang terus berproliferasi hingga membentuk benjolan yang bisa teraba. Kami tidak ada yang bisa memperediksi, bahkan dulu mesin MRI pun gagal mendeteksi. Mau tidak mau sekarang kami menuai hasil dari kejadian waktu itu.

Dia, yang kegiatannya super padat luar biasa harus menyerah setelah beragam pengobatan modern maupun alternatif tidak menimbulkan dampak apa-apa. Dari beberapa tahun belakangan lengannya sedikit demi sedikit mengalami atropi, mengecil dengan pasti. Ada urat syaraf yang entah dimana terjepit oleh bagian entah apa yang menyebabkan suplai oksigen ke bagain lengan terhambat. Itu efek dari jatuh saat tabrakan jaman dulu.

Bisa dibayangkan bagaimana frustasinya dia. Seseorang yang sedari dulu tidak bisa diam dan selalu aktif di berbagai kegiatan sekarang ‘terganggu’ karena lengannya yang seperti tidak bertenaga. Memang masih bisa berfungsi tapi mudah sekali lelah dan gemetar, bahkan untuk menyetirpun sekarang dia tidak lagi bisa dan mengandalkan jasa sopir pribadi. Untungnya dia kuat, atau mungkin tabah karena tidak pernah sekalipun saya melihat dia meratapi atau putus asa dengan penyakit yang dia alami. Dia masih bersemangat seperti dulu.

Saya yang justru selalu merasa kalah karena seringkali keadaan itu membuat saya bersedih. Menangis diam-diam ketika mengamati dia kesulitan untuk sekedar berpakaian atau menjingjing barang bawaan. Saya seringkali membantunya tapi saya tidak bisa selalu berada di dekatnya ketika dia membutuhkan sedikit pertolongan. Saya merasa sangat berhutang banyak karena justru ketika dia membutuhkan bantuan saya tidak bisa diandalkan, tidak seperti dia yang sedari dulu bisa saya andalkan kapan saja.

Dia Papih saya. Seseorang yang telah sangat berjasa membuat saya menjadi seperti sekarang. Seseorang yang sudah membuat hidup saya serba kecukupan. Pahlawan yang selalu berjuang demi kebahagiaan saya dengan mengabulkan apa yang saya inginkan sebisanya. Pahlawan yang di mata saya tetap terlihat gagah meskipun kedua lengannya kehilangan fungsi seperti sedia kala. Lengan yang sebetulnya fungsinya telah purna.

Hari ini Papih saya berulang tahun yang ke-56. Dan saya ingin bilang kalau saya sangat menyayanginya dan selalu bangga menjadi anaknya. Tidak peduli pada lengannya yang sudah tidak berdaya, tidak peduli pada atropi yang menggerogoti pertumbuhan jaringan di belikatnya, saya tetap mencintainya dan mengaguminya. Dia akan tetap menjadi pahlawan saya selamanya.

Beberapa minggu lalu ada perkataannya yang membuat hati saya menciut. Mencelos seperti sisa bara api unggun yang bertemu embun pagi. Papih bilang kalau dia minta maaf karena nanti ketika saya punya anak suatu hari maka anak saya tidak akan bisa dia gendong, padahal dia sangat ingin bisa menggendong cucunya seperti layaknya kakek pada umumnya. Dan saya menangis. Saya merasa terlambat memberinya kebahagiaan ketika dulu lengannya masih normal. Saya terlambat memberinya kebanggaan menjadi seorang kakek yang pasti akan dikagumi cucunya.

Di hari ulang tahun Papih yang sekarang, ijinkan saya untuk meminta maaf atas semua keterlambatan yang sudah saya lakukan. Saya juga terus berdoa untuk kesembuhan Papih, karena saya yakin selalu ada keajaiban ketika kita mempercayainya seperti yang sering Papih ajarkan. Doakan saya juga Pih, agar saya bisa menebus semua keterlambatan dengan cara saya sendiri.

I Love You, Papih!