Halaman

Senin, 23 Juli 2012

Anak Kost


Saya anak kost sejati. Sejak memutuskan untuk keluar dari rumah selepas menyelesaikan pendidikan untuk bekerja, saya berkelana dari satu rumah kost ke rumah kost yang lainnya. Sepertinya terlalu berlebihan kalau saya bilang rumah kost karena sebetulnya saya hanya mampu menyewa sebidang kamar kost dan bukannya satu rumah utuh.

Banyak yang menyarankan untuk saya menyewa rumah saja atau bahkan ada yang gencar menyuruh saya membeli rumah mengingat pekerjaan saya yang sudah mapan. Mapan dalam artian tidak akan ada ancaman bagi saya di PHK atau diberhentikan sepihak. Menurut mereka apa lagi yang saya tunggu, padahal harga rumah di kawasan pinggiran Jakarta dimana sekarang saya tinggal setiap tahunnya merangkak dengan kenaikan yang fantastik.

Terus terang saya belum kepikiran. Saya masih nyaman berlindung di dalam sepetak kamar kostan yang semakin sempit karena sepertinya barang-barang yang saya miliki beranak pinak tak bisa ditahan. Sekarang, satu-satunya area yang lenggang di dalam kamar kost saya hanyalah area yang menghubungkan dipan dengan kamar mandi. Selebihnya sesak berisi tumpukan barang dalam container-container plastik, entah itu berisi baju, buku bahkan sepatu.

Tidak bisa saya bayangkan bagaimana kalau ke depan saya menyewa atau beruntung memiliki sebidang hunian yang akan saya sebut rumah tempat saya pulang. Keinginan saya untuk berbelanja pasti tidak bisa lagi ditahan, apalagi akan banyak ruangan kosong yang sepertinya sayang kalau tidak diisi oleh barang. Pasti selalu ada alasan atau sekedar pemakluman untuk saya membeli barang yang mungkin tidak terlalu dibutuhkan. Tapi saya memiliki keyakinan kalau suatu saat barang tersebut pasti akan dibutuhkan. Kalau tidak sekarang, pasti nanti akan bisa digunakan. Satu dari sekian pemakluman yang sering saya ucapkan.

Tidak heran kalau kamar kost saya penuh berisi barang. Dan anehnya saya tetap saja nyaman berdiam di dalamnya. Nyaman itu diciptakan di pikiran, jadi kalaupun kita tinggal di rumah yang luas luar biasa tapi pikiran kita tidak nyaman pasti rumah tersebut menjadi berasa tidak nyaman. Lagi-lagi satu dari sekian pemakluman. Jadi biarkan saja saya dengan kenyamanannya tinggal di sebidang kamar yang sesak oleh barang.

Di bulan Ramadhan seperti sekarang, sebagai anak kost saya juga mempersiapkan banyak hal terutama yang berhubungan dengan aktivitas sahur dan berbuka. Dan saya senang dibuatnya karena  ada alasan untuk saya (kembali) mempergunakan magic com yang selama ini berdebu di dalam kardusnya karena tidak pernah dipakai. Atau ada alasan bagi saya mengeluarkan beberapa wadah tupperware yang dulu saya beli dari seorang teman kantor karena jatuh kasihan, untuk diisi abon atau kering kentang yang saya pesan dari Bandung. Lihat apa saya bilang, suatu saat barang-barang tersebut pasti akan terpakai. Tidak ada yang sia-sia.

Saya anak kost sejati. Saya tidak khawatir dengan ketakutan banyak anak kost lainnya yang takut ibadahnya terganggu karena tinggal sendirian, seakan sendirian adalah sebuah beban. Buat saya, sendirian atau berpasangan puasa akan tetap berasa lapar. Saya terbiasa memasak nasi sendiri, membuat minuman hangat sendiri, membeli masakan jadi sendiri, dan itu tidak pernah menjadi beban. Saya menikmati kesendirian saya menjalankan puasa di bulan Ramadhan.

Soal banyak pertanyaan yang bernada miring yang sering ditujukan kepada saya sebagai anak kost, saya tidak lagi gentar. Pertanyaan sahur sama siapa tidak lagi membuat saya gelagapan, karena sudah bertahun-tahun sebetulnya saya sahur tidak pernah benar-benar sendirian. Saya sahur selalu berdua. Bersama masa lalu.  K

Jumat, 20 Juli 2012

Saya Datang Lagi

Tahun ini seharusnya ada yang berbeda. Bukan perbedaan mengenai kapan dimulainya berpuasa yang bertepatan dengan tanggal 1 Ramadhan. Tidak peduli jumat atau sabtu, harusnya tahun ini saya menjalani dengan rasa yang tidak pernah sama. Andai saja.

Saya tidak mengerti bagaimana memindai datangnya hilal sebagaimana saya tidak bisa membaui bagaimana datangnya mimpi. Tapi sekian lama diuji seharusnya tahun ini dengan berbeda saya lalui. Bukan mengenai kepasrahan karena untuk yang satu itu, tahun ini kepasrahan saya sudah berganda beberapa kali. Beranak pinak pada tingkat yang mungkin tidak bisa lagi dimengerti.

Tahun ini seharusnya ada yang berbeda. Bukan perbedaan mengenai perhitungan derajat kemunculan hilal yang terlihat melingkupi bulan. Bukan juga perbedaan cara menterjemahkan bayangan yang bergeser dari bulan yang bulat sempurna. Tapi semenjak berpisah dengan Ramadhan tahun lalu, saya mempunyai mimpi.

Bukan bermimpi soal ketakwaan, karena saya tahu setiap saat ketakwaan saya harus menuju ke arah yang terus membaik. Bukan bermimpi soal pahala, karena semua itu hanya Tuhan yang kuasa. Bukan juga bermimpi mengenai pengampunan, karena itu pengharapan semua insan. Keluar menjadi manusia  baru seperti anak bayi yang baru dilahirkan dari buaian. Polos. Tanpa noda.


Tahun ini saya datang dengan camping yang tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Masih berlumur dosa yang sama karena ternyata saya seperti mencandu tak mau berlalu. Bukan bentuk pemberontakan karena mimpi saya tidak bertemu realisasi. Bukan bentuk pembangkangan karena ternyata saya masih merasa tersisihkan. Saya hanya merasa tidak punya pilihan. Berdiri diantara dua hal yang menyulitkan.

Saya tahu benar apa itu dosa. Saya faham benar apa itu haram. Seandainya saja saya bisa menghindari dosa dan haram seperti pengetahuan dan pemahaman saya mengenai keduanya. Sayang lagi-lagi saya lalai, saya terbuai sehingga saya kembali lagi pada hitam. Hitam yang memabukkan. Hitam yang meninabobokan.

Saya tidak patah arang. Saya tahu Tuhan sayang, makanya tahun ini saya kembali datang. Mengharap pengampunan. Meminta pencerahan karena siapa tahu setelah Ramadhan tahun ini hidayah datang dan membuat saya kembali “pulang” atau paling tidak membuat saya lebih ikhlas menerima segala ketentuan. Tidak berontak atau mengajukan banyak pertanyaan yang sebetulnya tidak perlu jawaban.

Tahun ini saya datang, bukan hanya meminta pengampunan dari Tuhan tapi juga dari semua handai taulan. Mulut saya cuma satu, tapi darinya sering muncul serapah seperti yang tidak pernah dibilas wudhu. Menyakiti banyak orang baik sengaja maupun tidak disengaja. Hati saya tidak ada yang tahu, tapi sering muncul lintasan hati yang mencurigai. Berburuk sangka. Karenanya di momen yang tepat ini saya juga ingin diampuni. Lewat permintaan maaf yang sungguh-sungguh, mari kita mulai Ramadhan dengan hati yang damai.

Tahun ini seharusnya ada yang berbeda karena selepas Ramadhan tahun kemarin saya punya cita-cita. Harusnya tahun ini saya menghabiskan Ramadhan dengan kamu. Iya kamu, jodoh aku. Mendadak suasana menjadi bisu.

SELAMAT MENJALANKAN IBADAH PUASA SEMUANYA!!!

Selasa, 17 Juli 2012

Stuck

Saya sangat fasih berbicara mengenai masa lalu dibanding masa sekarang ataupun masa depan. Saya hapal setiap detail yang pernah saya lalui dulu di lorong bernama masa lalu. Lorong yang menghubungkan saya ke masa sekarang dan pastinya ke masa depan.

Saya fasih berbicara mengenai masa lalu karena pernah saya pernah berada di situ, dulu. Apalagi Tuhan memberikan saya anugerah berupa ingatan jangka panjang yang sedikit tajam. Ingatan yang mampu menyimpan setiap ornamen-ornamen ataupun jalinan yang pernah saya jalani tanpa takut waktu gerogoti. Hentakan detik yang akan menjadikannya kopong dan usang karena terlalu lama terbengkalai. Saya menyimpannya dalam jambangan khusus di salah satu lobus otak saya yang berkerut.

Berbicara mengenai masa depan sering kali membuat saya ketakutan. Saya hanya bisa menerawang yang dibumbui sedikit pengharapan. Mungkin lebih tepat dikatagorikan sebagai langkah menguntai impian. Memupuk asa yang digelembungkan lewat doa-doa panjang tidak kenal bosan karena ada keyakinan kalau tidak sekarang mungkin nanti pasti akan terkabulkan. Menanti saat yang tepat untuk menepi, menunggu waktu yang tak tentu. Saya hanya tahu bahwa di masa yang akan datang saya akan bahagia. Semoga.

Berbicara mengenai masa depan sering kali membuat saya ketakutan. Saya takut terbangun ketika mimpi justru belum sempat mengecap realisasi. Saya takut terpaksa membuka mata padahal mimpi yang saya reka belum menjelma nyata. Ketakutan yang sebetulnya tidak beralasan. Ketakutan yang hanya tumbuh dalam pikiran. Ketakutan yang justru membuat saya seperti orang yang tidak beriman karena menyepelekan kemampuan Tuhan. Karenanya saya akan senantiasa memintakan ampunan dan tuntunan agar semua yang saya takutkan hilang tanpa kesan yang mendalam.

Bagaimana dengan masa sekarang? Mengapa saya tidak tertarik untuk membicarakan masa kini? Terus terang sekarang hidup saya sedang membosankan, berputar-putar pada lintasan yang memusingkan. Lintasan yang hanya menghubungkan saya dengan koridor masa lalu yang tidak mau berlalu. Mengikat semua perasaan sehingga sulit beranjak. Membelenggu hampir seluruh permainan ingatan sehingga yang teringat hanya itu melulu.

Saya belum bisa move on. Entah kenapa. Cinta yang dulu pernah saya punya untuknya sudah kandas. Regas. Anehnya saya masih saja berdiri. Menatapi. Meratapi. Sungguh menyedihkan karena saya yakin kalau dia pasti sudah melupakan. Sepenggal kisah yang mungkin menurutnya tidak layak untuk dikenang, apalagi dulu saya hadir bagai ilalang. Tumbuh tidak kenal aturan di pekarangan bertuan. Jatuh cinta pada dia yang hatinya masih termiliki.

Harusnya situasi tersebut memudahkan saya untuk sekedar beranjak pergi, tapi ternyata tidak demikian. Dia menjelma menjadi sesosok teman yang tidak bisa saya abaikan. Dia mengikuti saya di semua jejaring sosial yang saya punyai. Dan terus terang itu menyakitkan karena saya seperti dipaksa untuk terus membuka luka lama. Andai saya punya banyak pilihan atau setidaknya sedikit keberanian untuk sekedar mengabaikan. Sayang saya terlalu takut dan berubah wujud menjadi pengecut.

Ketika dulu saya terpaksa mengakhiri perasaan cinta kepada dia yang hatinya masih termiliki, sebetulnya saya ingin memilih opsi kembali menjadi dua orang asing yang tidak saling mengenal daripada berteman yang ternyata menyulitkan saya untuk menyongsong masa depan.

Kamis, 12 Juli 2012

Yang Mana?

Sebuah sms dari seorang teman saya terima semalam. Sms yang saya baca dengan terbata ketika kantuk sudah menggelayuti mata sedemikian rupa. Sms sederhana yang seharusnya tidak menimbulkan efek apa-apa, tapi semalam rasanya berbeda. Mata yang semula sulit diajak terbuka seketika membelalak seolah ingin lepas dari tempatnya.

Saya merasa ditampar. Berulang-ulang. Di tempat yang nyaris sama. Panas.

Dalam sms-nya teman tersebut mengajukan pertanyaan yang membuat saya linglung. Tidak bisa menjawab segera karena saya merasa tersesat. Lupa dimana sebenarnya sekarang saya berada. Memang itu hanya sementara karena sesaat kemudian saya menemukan kalau saya seperti sedang berdiri di tepian hati. Lagi. Dengan jawaban yang masih mengambang. Bimbang.

Pertanyaan itu terus mengiang-ngiang seperti suara kumbang yang sedang kasmaran. Menghantui tidak mau pergi, mengikuti kemanapun saya sembunyi.  Tidak ada kesempatan untuk saya melarikan diri, karena pertanyaan itu seperti mengikat erat kaki yang sedang berdiri. Bergaung berulang-ulang meminta saya merefleksi hati. Termasuk kedalam kelompok manakah saya selama ini.

“Ada yang terpaksa mencintai. Ada yang memaksakan diri agar dicintai. Lebih cenderung kemanakah kamu?”

Begitu pertanyaan teman yang dikirimkannya melalui sms tadi malam. Pesan singkat yang membuat mata saya tiba-tiba terbelalak. Pesan singkat yang tidak mudah untuk saya jawab karena ternyata butuh analisis lebih, bukan asal menjawab untuk sekedar menipu diri. Seharusnya pertanyaan tersebut dapat dengan mudah saya jawab, karena saya tahu dimana selama ini saya berada. Tapi tetap saja saya bingung, linglung dilimbung banyak pertikaian antara akal dan perasaan. Lagi-lagi saya harus bercermin pada hati dan kemudian menjawab dengan pasti. Tidak lagi abu-abu, tidak lagi penuh ragu.

Dulu saya sering terpaksa mencintai. Mungkin lebih tepat belajar mencintai walaupun diembel-embeli dengan imbuhan “terpaksa” belajar mencintai. Saya senang sanjungan, saya gila dielu-elukan,  jadi ketika seseorang datang dengan bekal sayang yang sangat berlebihan saya merasa tertawan. Hanya itu biasanya, karena kemudian saya cepat merasa bosan. Merasa menyesal telah meladeni tawaran hati dan ingin segera berlari. Tapi perasaan kadung ikut terlibat, saya jatuh kasihan sehingga saya melayani. Tanpa tendensi. Saya terpaksa mencintai. Terpaksa belajar mencintai.

Sebut saya jahat. Karena memang itu yang seringkali terjadi. Dulu. Ketika darah muda dalam diri saya mendidih butuh sarana. Ketika saya belum bisa menerima kesendirian berkepanjangan. Sebetulnya saya hanya takut, takut tidak dicintai. Takut sanjungan keburu pergi tanpa pernah sempat saya rasai. Saya ketakutan, karenanya saya memilih opsi terpaksa mencintai. Terpaksa belajar mencintai hanya untuk sekedar mengisi amunisi hati. Memanfaatkan keadaan.

Sebut saya jahat. Nilai saya tidak punya hati.

Kemudian saya menyadari, meski terlambat karena waktu tidak bisa diputar ulang seperti jam pasir yang bisa dibolak-balikan. Saya sadar kalau selama ini saya banyak melakukan manipulasi hati. Menipu perasaan sendiri hanya untuk sekedar merasa dicintai. Saya terbuai tapi lambat laun hati saya lapuk seperti kayu yang terus menerus diguyur hujan tanpa perlindungan.

Saya memperbaiki diri. Saya berbenah, mengganti hiasan yang selama ini saya gadang menghiasi ruang penuh kepalsuan. Saya memperbaiki diri, berani menolak tawaran hati ketika saya tidak merasakan apa yang selama ini saya cari. Cinta itu sendiri.

Sayang saya lupa kalau saya hidup di dunia penuh karma. Selalu ada balasan untuk semua tindakan yang pernah dilakukan. Akan ada ganjaran atas sesuatu yang pernah berlaku. Dan saya membayarnya sekarang. Tidak bisa langsung dilunasi karena ternyata harus diangsur hari demi hari, saya harus melunasi melalui penantian panjang tidak bertepi.

Sekarang saya mati-matian berusaha untuk sekedar bisa dicintai. Dan tidak ada yang peduli. Tidak ada yang kemudian mendekati untuk sekedar mengamati. Sekarang saya mati-matian berusaha untuk sekedar bisa dicintai, tanpa perlu menipu hati. Tapi tidak ada yang percaya lagi. Saya berlari kesana kesini sendiri . Berusaha sekedar untuk dicintai.

Ini harga yang harus saya bayar. Balasan atas apa yang dulu pernah saya lakukan. Entah sampai kapan saya harus membayar karena sepertinya penantian ini masih panjang. Untung saya masih memiliki stok sabar yang berlebihan. Satu atau dua tahun ke depan sepertinya saya masih akan sanggup bertahan. Mudah-mudahan.

Senin, 09 Juli 2012

Berbeda Usia


Perbedaan usia kita memang bisa dibilang relatif jauh. 6 tahun bukan rentang waktu yang sebentar, karena dalam rentang waktu tersebut ketika aku sudah bisa membaca dan memutuskan ingin memakai baju yang mana, kamu baru saja mengenal dunia. Menyesap udara untuk pertama kalinya sehingga memenuhi alveoli sampai dadamu menggembung dan kamu menangis bingung. Sejauh itu perbedaan usia diantara kita.

Harusnya perbedaan yang sedemikian jauh membuat kita terdampar di dimensi yang berbeda. Aku bisa memberikan pandangan dari sudut kedewasaan yang tertempa usia, sementara kamu bisa membawaku pada permainan seru yang sesuai dengan usiamu. Berlarian seperti tidak tahu malu sambil sesekali berpegangan tangan atau mencuri-curi berciuman ketika film baru saja diputar. Kedewasaan yang berpadu dengan kekanak-kanakan yang menawan. Pola pikir matang yang dikawinkan dengan canda riang tak kenal batasan.

Harusnya seperti itu. Mestinya itu yang berlaku.

Tapi kenyataan jauh dari apa yang seharusnya. Kamu yang terlalu berpikir melebihi batasan umurmu kadang-kadang membuatku sulit untuk bergerak, bahkan untuk mengekspresikan rasa cinta secara sederhana. Kamu selalu merasa bahwa hidupmu adalah masalah. Bahwa kamu tidak seperti kakak-kakakmu yang menjadi kebanggaan ibu bapakmu. Bahwa kamu adalah petaka karena kemudian tidak menjelma menjadi sosok yang selama ini kamu reka. Kamu merasa kamu lemah, bahkan ketika hanya disuruh melangkah. Kamu gundah

Aku, yang awalnya merasa seru, merasa tertantang untuk selalu hadir karena selalu merasa dibutuhkan kemudian menjelma menjadi bosan. Bosan karena ketika seharusnya kita berpacaran seperti orang-orang kebanyakan, kita malah larut dalam pemikiran panjang yang sebetulnya bisa saja diabaikan. Kita yang seharusnya menikmati apa itu cinta, malah tenggelam dalam percakapan tiada ujung yang justru membawa kita tidak kemana-mana. Berputar dari satu masalah ke masalah berikutnya. Terikat dari satu penyesalan ke penyesalan setelahnya.

Aku bosan meski tidak aku padamkan rasa cinta yang tumbuh secara keseluruhan. Mencintai orang yang umurnya jauh dibawahku harusnya membuatku menjadi sesuatu yang baru. Seseorang yang bisa memadumadankan kedewasaan dengan sifat kekanak-kanakan yang harusnya kamu miliki. Tapi kita gagal total. Aku yang sebetulnya gagal, karena kemudian aku keburu bosan. Aku menyerah. Aku melangkah sendirian meninggalkanmu yang sedemikian gamang.

Kadang aku merasa bahwa cinta yang aku punya melebihi kapasitas yang seharusnya. Sudah banyak jalan aku coba sekedar untuk menyemangatimu, memberimu asupan cara pandang baru. Tapi kamu bergeming, kamu tetap dengan perasaan rendah dirimu. Hidup dengan perasaan bahwa apa yang kamu jalani selama ini adalah kesalahan, padahal menurutku itu adalah sesuatu yang krusial seperti jurusan yang kamu ambil di kuliahmu. Kurang apa coba? Kamu kuliah di tempat yang seluruh orang (seharusnya) bercita-cita masuk situ. Kamu kuliah di jurusan dengan passing grade top five di kampus itu. Kamu sudah lebih dari hebat. Menurutku.

Tapi ketika kamu selalu beringsut karena masalah-masalah yang sebetulnya hanya bercokol di dalam kepala, aku kemudian menyerah. Memilih mengemasi hati dari perasaan yang tidak bisa dibohongi. Aku masih mencintaimu tapi aku merasa gagal untuk terus merasa diandalkan. Aku memilih pergi. Membawa perasaan yang masih mengkristal di dalam hati untuk dicairkan lagi suatu hari nanti.

Hari itu tidak pernah tiba, setidaknya sampai saat ini. Kamu masih seperti kamu yang dahulu, yang hidup dengan masalah-masalah yang hanya hidup di dalam kepala. Padahal kariermu bagus luar biasa, tinggal di negara maju dengan penghasilan yang bisa membuat orang menganga. Masih kurangkah semuanya sehingga kamu lebih memilih tinggal di dalam masalah yang kamu buat sendiri?

Aku bukan aku yang seperti sepenuhnya dulu. Aku tidak lagi terlalu mengambil pusing atas apa yang kamu khawatirkan. Tapi anehnya, rasa cinta itu masih ada. Bercokol tak mau pergi malah berkarat padahal sesungguhnya aku selayaknya sudah sekarat.

Hey kamu! Aku rindu....

Kamis, 05 Juli 2012

Kemarau


Di luar hujan sudah jarang datang. Tidak tampak lagi dedaunan basah yang baru bercumbu dengan rintik yang turun perlahan. Tidak terinderai lagi genting-genting  kuyup sehabis diguyur air yang tercurah tak berkesudahan. Semua berubah ritme. Kemarau sudah menghadang di hadapan.

Lihatlah sekawanan capung yang bermigrasi di atas awan. Menutupi biru menjadi kelabu. Menciptakan ilusi mendung yang seperti menipu. Mereka terus terbang, berbondong-bondong mencari tempat ke utara yang lebih basah untuk sekedar beranak pinak. Meneruskan garis keturunan. Menghindari kemarau yang menjanjikan dahaga lewat kerontang tanah yang retak terpecah belah. Mereka menjadi tanda, kemarau akan segera tiba.

Atau coba dengarkan dengan seksama, banyak bunyi tonggeret yang kencang saling bersahut-sahutan. Serangga dengan kemampuan bersuara yang tidak seimbang dengan bentuk dan ukuran tubuhnya. Mereka menyanyikan lagu seolah bergembira menyambut kemarau yang sudah di depan mata, membalas dendam karena saat hujan suara mereka dibungkam di dalam lubang. Mereka bersuka ria, bersembunyi di balik daun-daun yang siap absisi. Mengasah pita suara yang lagi-lagi menjadi tanda, kemarau tidak lama lagi akan tiba.

Semua berubah. Hujan berpamitan lewat kunjungannya yang kadang-kadang. Kemarau mulai menyapa lewat coklat daun yang terpanggang sempurna. Tidak ada lagi embun yang dapat disesap pagi hari, tidak banyak lagi gutasi yang dapat dilihat menetes dari ujung-ujung rumput yang lembut. Semua berubah, melewati siklus yang terus berulang. Hujan digantikan kemarau. Rimbun digantikan ranggas yang bertahap. Mencipta serasah yang menggunung di atas tanah.

Coba kau ingat lagi, kemarau ini kemarau keberapa kita saling menghindar? Saling mencari jalan yang berlainan padahal dari jauh kita sudah bisa saling memandang. Di persimpangan, ketika aku memilih ke kiri maka kamu akan memutuskan untuk berputar lewat belakang. Di jalanan buntu, ketika kamu memilih untuk terus melaju maka aku akan diam membalikan badan. Berusaha untuk tidak terlihat dengan membuat banyak kesibukan. Dan kamu pura-pura tidak tahu. Tidak saling menunjukan perhatian padahal kita saling mencuri pandang. Sejenak.

Sebetulnya apa yang kita hindari? Perasaan saling menyakiti? Perbincangan mengenai hati? Atau justru yang kita hindari hanyalah serangkaian basa basi? Aku yakin kamu juga pasti tidak mengerti. Seperti sudah ditandatangani dalam hati kalau menghindar adalah jalan paling aman untuk diambil saat ini, entah sampai kapan. Mungkin sampai nanti ketika kita sudah bisa berkompromi, ketika kita sudah bisa meraba hati sendiri dan menyadari bahwa menghindar bukanlah solusi.

Sudah berapa kali kemarau kita begini? Mencampakan perasaan yang mungkin masih tersisa sedikit dari kegiatan saling mengungkit. Membenamkan hati pada kubangan tanpa penyelesaian. Saling menyakiti, saling menyalahkan dan saling tidak mau mengalah.

Aku bosan menghindar. Kamupun pasti demikian. Mengambil jalan memutar untuk sekedar saling menghindar hanya membuat kita seperti naik komedi putar. Berputar-putar dilintasan yang sama tanpa beranjak kemana-mana.

Masalah diantara kita sudah lama selesai. Seharusnya. Kalau saja kita tidak sama-sama mempertahankan hati dengan ego yang bercokol tak mau pergi. Semua perasaan sudah enyah, kalaupun masih tersisa itu hanya remah-remah yang tidak pantas dipunguti untuk kemudian dihidangkan. Sudah tidak ada lagi cinta, tapi kenapa yang muncul justru benci. Sudah tidak ada lagi rasa, tapi kenapa kita masih saja menyimpan kecewa.

Kemarau sudah datang, dan ini kemarau kesekian kita saling menghindar. Kenapa di kemarau yang sepertinya masih panjang ini kita tidak duduk bersama. Berbicara. Bukan untuk mengungkit luka lama, tapi justru mengobati luka yang mungkin masih menganga. Menyelesaikan pertikaian yang seharusnya sejak dulu disudahi. Membuka lembaran baru tanpa lagi saling membenci .

Sini duduklah di dekatku. Kita nikmati sekawanan capung yang terbang bermigrasi menutup biru menjadi kelabu. Kita dengarkan lagu bebunyian tonggeret yang bersembunyi di balik daun yang siap absisi. Kita berbicang, tidak perlu saling menggenggam tapi tidak perlu juga saling mendendam. 

Senin, 02 Juli 2012

Monolog

Pertunjukan sudah lama digelar, bahkan ada beberapa fragmen yang sudah beberapa kali diulang. Dua, tiga, empat, bahkan puluhan kali dengan dalih bagian tersebut adalah bagian yang paling disukai. Paling menggambarkan atas apa yang tengah terjadi di dalam relung hati. Menggambarkan semua perasaan yang disembunyikan dalam berbagai adegan yang sebetulnya dengan mudah dapat dibaca. Sebuah kesepian yang tersamar.

Pertunjukan tidak selalu ramai pendatang. Ada waktu dimana pertunjukan seakan bisu, dan meski seperti itu pertunjukan tetap saja digelar. Dimulai dengan pembukaan, konflik, klimaks dan penutup yang mengharukan atau bisa jadi menyebalkan. Alurnya selalu begitu, tidak peduli ada yang bertepuk tangan atau hanya dibalas oleh sunyi yang membahana. Pertunjukan seperti putaran waktu yang setia berputar pada poros matahari. Berulang setiap hari. Tanpa henti.

Tujuan awal dari pertunjukan yang selalu diputar hanyalah sebuah eksistensi. Bermula dari sebuah pertanyaan besar yang tak kunjung menemukan jawaban yang memuaskan. Kadang jelas seperti tuts piano yang ditekan teramat dalam, seringnya samar seperti bunyi garputala di ujung getar yang berangsur diam. Tidak ada jawaban seperti apa yang diharapkan, tidak untuk saat ini. Mungkin nanti, atau mungkin tidak pernah ada karena keburu mati.

Pertunjukan sudah lama digelar, menyisakan banyak pengharapan ketika tirai diturunkan tanda sebuah lakon telah usai. Harapan-harapan yang tidak lebih akan berakhir serupa. Terserak bersama bangku-bangku yang teronggok sendu. Berdebu. Bangku-bangku yang seharusnya terisi oleh pengunjung yang dengan sukarela datang tanpa paksaan karena sebetulnya pertunjukan yang digelar tidak pernah menarik bayaran.

Aku pemeran utama dari pertunjukan yang terus saja diputar tanpa bosan. Merangkap sebagai pemeran pendukung, pengatur tata lampu, sekaligus tukang bersih-bersih  panggung setelah pertunjukan usai digelar. Banyak yang datang hanya membawa kesakitan, datang sekejap kemudian menghilang seperti tidak pernah terekam. Dan aku kembali harus membersihkan kepedihan yang mereka tinggalkan, mengumpulkannya dalam jambangan kesedihan yang sudah aku persiapkan dari awal.

Pertunjukan yang aku gelar lebih cocok disebut pentas monolog. Hanya aku yang berbicara karena kebanyakan dari mereka justru tidak bersuara. Datang hanya untuk mengotori hati dengan sebuah pengharapan semu yang justru menyisakan kepedihan baru. Menyisakan jejak air mata. Tapi aku tetap melakonkan cerita yang memang harus terus dimainkan, seperti takdir yang tidak bisa dihadang atau ditanggalkan. Aku terus berlakon, tidak peduli dengan mereka yang mulanya nyata kemudian berubah dusta.

Kusiapkan kursi spesial di jajaran paling depan. Berharap bahwa akan ada yang teristimewa yang menempatinya nanti, karena sampai saat ini belum ada yang berani. Kursi yang sunyi karena lebih sering diduduki sepi. Kursi yang berdebu karena banyak dihinggapi ragu.

Ada yang salah dengan aku. Ada yang salah dengan pertunjukan yang sudah sekian lama dimainkan. Sedemikian jujur aku mengejawantahkan hati, tapi tidak pernah ada yang datang mendekati. Sebegitu lugas semua rasa aku gagas, tapi tidak ada yang kemudian datang bergegas. Ada yang salah dengan aku. Ada yang salah dengan doa yang sudah sekian lama aku rapal dalam diam. Aku hanya tidak tahu sehingga aku hanya terbelenggu bisu.

Sedemikian tidak layaknyakah aku untuk sekedar dicintai? Disayangi tanpa syarat yang membelenggu imaji? Aku tahu, pasti ada yang salah dengan aku meski aku tidak tahu apa itu. Mungkin takdir dari pertunjukan yang sudah lama digelar memang hanya ilusi. Mimpi yang tidak akan pernah bertemu dengan apa yang dicari. Mimpi yang akan terus bergelung sebagai mimpi tanpa realisasi.

Di akhir pertunjukan kali ini, sebuah pertanyaan akan kembali ditabuh hingga gaduh. Sedemikian tidak layaknyakah aku untuk dicintai?