Halaman

Senin, 25 Juni 2012

SAYA (tidak) MARAH

Saya tidak suka orang lain terimbas oleh apa yang seharusnya saya tanggung sendirian, apalagi orang lain itu adalah orang-orang terdekat yang sangat saya sayangi.

Rasanya sedih. Seperti merobek hati sendiri. Mungkin tujuannya hanya untuk melindungi, menyelamatkan saya dari sekedar cibiran atau cemoohan yang sebetulnya tidak perlu didengar. Kalaupun terdengar, biarkan saya yang menanggung sendirian. Saya sudah cukup bebal, tidak akan mempan oleh beragam sindiran ataupun tekanan yang kerap ditujukan. Saya sudah hidup dengan hal itu sedemikian lama, dan saya menjadi kuat karenanya.

Berbeda dengan mereka. Mereka belum terbiasa, mereka takut saya terluka atau lebih parah terbebani. Padahal beban yang mungkin orang anggap berat itu buat saya cukup ringan. Tergantung cara pandang memang, tapi mungkin cara pandang saya yang lagi-lagi harus dipersalahkan. Saya hidup di lingkungan dengan orang-orang berpikiran mainstream, jadi ketika saya memilih untuk menjadi tidak mainstream maka saya adalah dosa. Itu hasil penarikan kesimpulan saya sendiri, kalau salah saya mohon dimaafkan.

Saya tidak suka orang lain terimbas oleh apa yang seharusnya saya tanggung sendirian, apalagi orang lain itu adalah kedua orang tua saya.

Jangan ganggu mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang bisa memerahkan telinga. Ajukan pertanyaan itu pada saya karena saya punya berjuta jawaban yang pastinya tidak akan memuaskan kalian. Tapi saya tidak peduli. Kewajiban saya hanya menjawab pertanyaan, kalau kalian tidak puas dengan apa yang saya ungkapkan itu urusan kalian.

Saya tidak meminta makan dari kalian, jadi jangan menuntut saya untuk melakukan apa yang kalian diktekan. Kalau saya bisa memilih tentu saya juga tidak akan mengambil jalan seperti ini, sudah dari dulu saya mengakhiri kesendirian dan berumah tangga seperti yang kalian gadang-gadangkan seolah dengan menikah kebahagiaan sudah pasti ada di dalam genggaman. Saya tidak sangsi akan hal itu, orang menikah untuk bahagia tapi jangan mengambil silogisme kalau saya belum menikah berarti saya tidak bisa bahagia.

Saya ingin menikah. Saya akan menikah. Nanti. Ketika saya sudah bertemu dengan jodoh saya yang sampai sekarang masih Tuhan sembunyikan. Jangan salahkan Tuhan! Mungkin untuk saat ini Tuhan melihat saya belum cukup baik untuk membawa pasangan saya ke arah yang lebih baik. Tuhan ingin menguji kesabaran saya dengan hadiah seorang pasangan yang sebetulnya sudah jauh Dia persiapkan. Kenapa saya harus sangsi? Kenapa kalian harus sangsi? Tuhan tidak pernah zhalim.

Jangan ganggu orang tua saya. Biarkan mereka hidup dengan tenang. Dan tolong jangan berpikir kalau saya setenang apa yang kalian lihat. Tidak perlulah saya pertontonkan kegundahan yang menggelayuti jiwa dan perasaan saya. Yang pasti saya tahu kemana saya harus melangkah dan beranjak besok hari. Cukup didoakan semoga saya istiqomah dengan keadaan yang belum seterang orang-orang lain yang kalian banggakan. Doakan saya. Cukup itu.

Saya tidak sedang marah-marah. Tidak pada kalian, pada keadaan terlebih pada Tuhan. Saya hanya ingin hidup tenang tanpa banyak tekanan yang justru membuat saya berat untuk melangkah ke depan. Kalau saya lagi-lagi boleh memilih, saya ingin menikah dari 5 tahun silam. Punya anak yang lucu yang saya bisa pamerkan ketika saya menyambangi pusat perbelanjaan seperti yang orang-oang banyak lakukan. Jangan pernah berpikir saya tidak iri. Saya SANGAT iri pada mereka yang terlebih dahulu menemukan terang, meski sekarang saya tidak hidup dalam kegelapan.

Sekali lagi, doakan saja saya agar segera mendapatkan jodoh seperti apa yang kalian harapkan. Semoga saja ketika nanti saya sudah berkeluarga, saya tidak lagi membebani pikiran kalian semua yang sebetulnya tidak pernah saya minta. Kalian hanya berbaik hati mengambil porsi (lebih) dari apa yang seharusnya tidak kalian pikul. Untuk itu saya ucapkan terima kasih dan semoga Tuhan membalas semua kebaikan kalian.

Rabu, 20 Juni 2012

Lebih Dari Cukup

Kalau ditanya apakah selama ini saya kesepian, jawabannya tentu saja tidak. Saya memiliki Dia dan itu lebih dari cukup.

Dia hadir bukan dari hasil saya membongkar file-file usang yang berdebu dari dalam gudang seperti halnya saya menemukan teman lama yang sempat hilang. Dia ada bukan karena saya mengundangnya untuk hadir dalam kehidupan saya yang menurut banyak orang membosankan. Dia hadir untuk saya, menjadi penjaga di setiap lini. Tanpa meminta bayaran. Tanpa pamrih.

Apa yang harus saya keluhkan kalau Dia bisa memberi saya semuanya, termasuk rasa aman. Apa yang harus saya takutkan kalau Dia bisa saja berdiri di garis paling depan ketika saya dirundung kesedihan. Memeluk dan memberikan rasa nyaman yang tidak ada tandingan. Harusnya saya merasa beruntung dan bukannya berlari tapa tujuan hanya karena takut merasa dikekang. Harusnya saya merasa diberkahi dan bukannya menghindar dengan bersembunyi membawa gamang.

Pasti saya tidak tahu diri. Bagaimana mungkin seringkali saya justru mengendap-ngendap mengambil jalan sunyi hanya untuk mengenyahkan sepi. Saya yakin Dia tahu, tapi dia tidak melerai atau melarang. Dia hanya akan membiarkan saya mengambil jalanan apapun yang saya mau, berdiri seperti biasanya dengan raut yang juga sama karena ada keyakinan pada dirinya kalau saya akan kembali ketika saya menemui jalan buntu atau jalan yang terlalu berliku. Dan memang selalu seperti itu.

Dia bisa marah. Dan kalau saya melakukan kesalahan maka  Dia akan  menghukum saya dengan caranya. Hukuman yang tidak lantas mengaburkan rasa cinta yang Dia punya buat saya. Saya menyukai caranya, dan mungkin karena cara yang diambilnya itu yang membuat saya sering melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Dimarahi tetapi tetap merasa dicintai. Diberi hukuman tapi kemudian diberi sebentuk hadiah belakangan.

Kami sering bertengkar, tapi saya sebetulnya yang lebih sering mencari gara-gara. Menuntut banyak hal dan mendikte bagaimana seharusnya Dia mencintai saya. Saya ingin Dia belajar mencintai saya seperti apa yang saya mau, bukan dengan apa yang Dia mau. Saya ingin Dia menghadiahi saya dengan kado-kado berpita yang saya inginkan, bukan dengan kado sederhana yang dimasukannya ke dalam kantong plastik hitam seperti hasil belanjaan pasar padahal isinya sama. Hal-hal semacam itu yang kadang memicu pertengkaran. Untungnya konfrontasi diantara kami tidak pernah berkepanjangan karena meskipun Dia lebih banyak memilih diam, saya akhirnya menyadari kalau saya yang tidak tahu diri.

Kenapa saya harus merasa sendirian kalau Dia bisa saya ajak bicara kapan saja. Kenapa saya harus merasa ditinggalkan kalau sebetulnya Dia selalu ada dan dekat dalam rengkuhan. Kenapa saya selalu merasa tidak cukup padahal menurut Dia saya sudah sangat berlebihan. Bergelimangan kenikmatan yang mungkin tidak bisa semua orang dapatkan. Yang paling parah kenapa terkadang saya merasa Dia tidak sayang padahal setiap saya meminta Dia sering kali mengabulkan.

Sudah lama saya tidak berbincang dengannya tengah malam seperti saat-saat dulu. Rasanya saya harus mulai lagi menyambanginya, bukan hanya untuk membalas rasa cinta yang sudah dia berikan tapi sebagai bentuk penghambaan seorang umat yang sering ingkar terhadap Tuhannya.

Kalau saya ditanya apakah selama ini saya kesepian, jawabannya tentu saja tidak. Saya memiliki Tuhan, dan itu lebih dari cukup.

Selasa, 19 Juni 2012

Tuli dan Buta

Saya belajar menulikan telinga. Bukan untuk menjadi tidak peduli atau bebal terhadap banyak peringatan. Saya justru memberikan banyak kesempatan untuk jiwa saya berkembang pada haluan yang telah dengan sadar saya guratkan. Melindunginya dari perubahan lingkungan yang tidak bisa diramal atau dari resistensi hama yang makin hari makin tangguh menggerogoti dan membuat kerontang.

Saya belajar menulikan telinga, tapi bukan berarti saya tuli sungguhan. Saya bisa mendengar apa yang ingin saya dengar, saya masih bisa ikut bergumam dengan irama yang mengalir melalui partikel udara yang menjalar dan mendengungkan gendang telinga. Kadang bila bunyinya teramat jelas saya sampai bisa menuliskannya dalam bentuk partitur dan mengulangnya beberapa kali sampai saya hapal benar apa pesan yang ingin disampaikan.

Selain menulikan telinga, saya juga belajar membutakan mata. Memberi barier pada bayangan hasil pantulan cahaya yang akan tercetak sempurna di dalam retina. Meski begitu, tidak berarti saya berubah menjadi tidak peduli dengan apa yang seharusnya saya lihat. Saya hanya belajar memilah mana yang harus saya lihat dan mana yang harus saya abaikan. Tapi mungkin banyak pertanyaan bagaimana hal itu saya lakukan padahal saya sudah membutakan mata. Jawabannya sederhana, saya belajar meraba.

Memang dengan meraba, saya tidak lantas bisa menggambarkan ulang secara detail apa yang biasanya dipotret mata. Dengan meraba saya hanya bisa menilai tekstur dan bentuk ruang secara kasar. Tapi jangan khawatirkan itu karena dengan meraba saya justru belajar memilih mana yang boleh saya rekam dalam memori jangka panjang dan mana yang harus saya tinggalkan di pekarangan tanpa membawanya masuk ke dalam ingatan.

Saya belajar membutakan mata. Bersahabat dengan pekat dan menaruh kepercayaan lebih pada insting sehingga saya tidak terantuk pada halangan-halangan yang pastinya menghadang pada saat saya berjalan. Saya membelanjakan lebih banyak kepercayaan daripada nafsu yang seringkali membuat saya mengambil arah yang menyesatkan. Saya menginvestasikan banyak kepercayaan ketimbang emosi yang biasanya menggiring saya pada perasaan bersalah berkepanjangan. Saya hanya percaya dan mengamini hati.

Saya belajar menulikan telinga dan membutakan mata. Tapi sekali lagi saya bilang, bukan berarti saya berubah menjadi pribadi yang bebal dan tidak kenal belas kasihan. Saya justru belajar melembutkan perasaan yang selama ini seakan kerontang dihajar kemarau tak berkesudahan. Saya ingin lebih banyak mendengar dan melihat dengan hati tanpa bumbu emosi. Hati yang melunak karena dianugerahi hujan setelah dibuat tandus bertahun tahun oleh saya sendiri. Hati yang saya ingin bawa berlari tanpa kekeliruan seperti yang selalu terjadi.

Kalau telinga bisa tuli sehingga tidak lagi bisa menginderai bunyi, atau mata yang bisa buta sehingga hitam menghanguskan retina maka saya berdoa semoga hati saya tidak lantas tuli ataupun buta. Semoga saja hati saya yang sudah sekeras batu bisa melunak perlahan seiring kesadaran yang datang sedikit terlambat. Tidak hanya soal cinta ataupun perasaan, tapi tentang segala hal yang harus saya jalani di hari hari ke depan.

Jumat, 15 Juni 2012

Menunggu Cinta

Aku menitipkan surat kepada angin. Sepucuk surat cinta yang dibuat dari bulir-bulir air mata kerinduan. Surat yang kuretas perlahan sambil menunggu waktu yang tiba tidak menentu.

Angin aku pilih sebagai sarana karena aku yakin kalau dia tidak akan berdusta. Kalaupun dia tersesat, dia hanya akan berputar-putar pada kisaran tujuh arah mata angin. Pada akhirnya pasti akan sampai pada tujuannya. Mungkin angin tidak akan segera sampai, karena aku tahu kalau dia sering labuh sebentar di ujung batang. Mengamati embun yang menyublim di lembaran daun, atau mengawasi gutasi yang menetes ketika pagi. Tapi aku yakin kalau dia sadar akan tugasnya, menyampaikan suratku pada seseorang yang masih Tuhan simpan.

Sebelum mengenal angin, pernah aku menampung rindu dalam berlembar-lembar surat cinta. Kemudian kusimpan surat itu di buritan, berharap ombak akan menghanyutkannya dan menabrak karang di negeri seberang. Negeri tempat sebelah hatiku yang masih disimpan Tuhan sedang meretas mimpi. Mewujudkan sesuatu yang dari dulu dicita-citakannya. Menjadi seseorang.

Tapi ombak membelot, dia tidak menepati janjinya. Dia menggulung surat itu menjadi serpihan, menawarkan pada hiu untuk mencabik dan menghancurkannya dalam sekali gigitan. Ombak membuat cintaku waktu itu kandas tidak pada tuannya. Ombak membuatku kehilangan satu kesempatan. Ombak merenggut harapan untuk menyandingkan perasaan yang sering timbul tenggelam. Ombak memberiku suatu pengalaman. Kehilangan.

Hingga aku bertemu angin. Darinya aku belajar lagi bagaimana percaya, bagaimana cara memberi kesempatan kedua. Angin mengajariku bahwa memaafkan dan melupakan jauh lebih baik dari memendam. Berusaha tidak mengungkit-ungkit akan membawa cara pandang baru dalam melihat sesuatu. Angin membentukku dengan pola pikir yang lebih baru tentang dia. Seseorang yang masih saja Tuhan sembunyikan.

Dulu cinta membuatku hanya mengecap kesakitan, sampai pernah aku berujar tidak mau lagi mengenalnya. Cukup sudah dia menciptakan banyak prahara, rasanya begitu banyak noktah yang dia cecerkan di putih rasa yang aku berikan. Tapi perasaan ternyata tidak bisa dipungkiri, aku masih menyimpan sesuatu. Pendar cinta yang ternyata belum mati semua, ada binar kecil yang masih menyala di sudut asa. Angin kemudian meniupnya, memberikan napas kehidupan. Membuatnya menjadi besar. Membuatnya kembali berbinar.

Ketika dia, nanti datang dan bertanya untuk kesekian kalinya tentang kesempatan kedua, aku menjawab tidak lagi ragu. Aku berujar sekeras angin yang menerbangkanku pada cakrawala penuh warna. Aku mengatakan iya. Aku memberinya kesempatan kedua. Kesempatan untuk merangkai kata penjadi prosa kemudian drama. Kesempatan untuk kami mengejawantahkan mimpi yang sebelumnya tertunda sementara. Aku kembali padanya. Sepenggal cinta.

Aku menitipkan surat kepada angin. Tidak peduli sesering apa dia hinggap di cabang-cabang ranting untuk mengamati absisi, atau labuh di ujung genting untuk menelaah purnama. Aku tidak peduli, karena sekarang aku yakin kalau pesanku tidak akan disabotase seperti halnya yang dilakukan ombak. Aku yakin pesanku akan sampai tujuan dengan selamat, ke haribaan seseorang yang tak ragu lagi kusebut sayang. Seseorang yang sampai saat ini masih saja Tuhan sembunyikan.

Sekarang aku menunggu waktu berpihak kepadaku. Waktu ketika cinta akan kembali pulang, selamanya.

Senin, 04 Juni 2012

Namanya Hendry


Aku memafkanmu teman! Atau mungkin agar kamu lebih tenang, aku mengampunimu.

Kejadiannya sudah lama sekali, ketika kita masih bisa dikategorikan anak-anak. Mungkin belum bisa membedakan mana bercanda kelewat batas atau mana bercanda yang masih bisa ditolerir. Saat itu kita masih berpakaian putih-biru.

Kamu ingat bagaimana kamu menggangguku setiap hari? Bagaimana kamu mengikutiku bagai hantu yang senantiasa menggoda dengan segala polahmu yang aku bilang sangat berlebihan? Mungkin kamu lupa, tapi aku tidak. Aku masih dengan jelas mengingat semuanya, setiap detail teror yang kamu lancarkan setiap harinya. Kamu adalah alasan terbesarku untuk malas pergi ke sekolah, waktu itu.

Berusaha untuk membuatku terjatuh dengan kakimu, menarik bajuku sampai keluar dari celana, mengacak-acak rambutku hingga masai, merebut jajananku dan kemudian melahapnya sampai habis, mengotori celanaku dengan serbuk kapur, dan masih banyak tingkah jahilmu yang aku tidak pernah tahu atas dasar apa kamu melakukannya. Mungkin untuk kesenangan semata, karena kamu selalu terbahak-bahak setelah ‘aksi’ mu berhasil.

Aku lebih sering diam daripada melawan, karena apabila aku melawan maka kamu akan seperti biasa mengerahkan teman-teman lain untuk membantu aksimu menjahili aku lebih parah. Aku juga heran kenapa teman-teman yang lain selalu tunduk padamu. Mereka seakan tidak peduli dengan aku yang meronta sedemikian rupa. Mereka ikut tertawa melihat aku yang terperdaya. Seringkali aku juga turut membenci mereka.

Aku biasanya menangis diam-diam, mengutuki diri yang merasa tidak berdaya.

Kamu bilang membenciku karena aku terlalu pintar, aku terlalu rapih. Kamu juga complain karena aku jarang pulang bareng dengan kamu dan teman-teman yang lain karena lebih sibuk mengambil les ini dan itu. Kamu tidak suka dengan keaktifan aku di kelas, dengan kepiawaianku menarik rasa sayang guru dengan menjadi anak baik dan penurut. Kamu bilang kamu tidak suka semua itu, kamu bilang kamu muak.

Dulu aku bertanya-tanya, betulkan semua alasan itu yang menyebabkan kamu membenciku? Betulkah semua itu yang menjadikanmu seseorang yang membuatku selalu tidak tenang? Menciptakan iklim horor setiap harinya di sekolah. Betulkah semua itu Hendry Ginanjar?? Lihat, aku masih mengingat namamu sampai sekarang.

Kamu mungkin lupa pernah membuatku terjerembab sampai mencium lapangan basket sepulang sekolah, tapi aku tidak. Aku ingat hingga kini, mungkin selamanya. Aku bangkit dan kemudian berlari pulang. Sepanjang perjalanan aku menangis sambil membuat strategi pembalasan untuk esok hari. Yang terpikir adalah bagaimana cara membunuhmu. Mengenyahkanmu selamanya dari dunia. Kamu adalah satu-satunya orang yang membuatku memutar otak bagaimana caranya membunuh. Kamu harus mati besok, begitu aku membatin.

Alhamdulillah, semuanya tidak kejadian. Akal sehatku masih menuntunku untuk berpikir logis. Menghadapimu seperti hari-hari biasa kemudian menjadi pilihanku sambil berharap suatu saat kamu akan berhenti karena bosan.

Tak terasa, kita sudah berjalan jauh dari waktu itu dan aku yakin kamu pasti sudah lupa semuanya. Aku sudah memaafkanmu dari dulu walaupun susah sekali menghapus kejadian-kejadian buruk yang kamu ciptakan dalam memori jangka panjangku. Aku sudah memaafkanmu ketika hari perpisahan. Hari terakhir dimana aku melihat kamu, setelah itu aku tidak pernah sekalipun bertemu kamu lagi sampai hari ini.

Tapi semalam, aku mendapat kabar. Hendry Ginanjar, orang yang pernah membuatku ingin menjadi seorang pembunuh, orang yang pernah menjelma menjadi monster dalam kehidupanku telah meninggal dunia karena sakit. Perpisahan SMP itu ternyata telah menjadi titik akhir dari pertemuan kita.

Teman, aku mengampunimu. Memaafkanmu dengan ikhlas, tanpa dendam. Aku hanya sukar melupakan. Semoga Kamu bersemayam dengan tenang dalam keabadian. Apabila nanti dalam kubur kamu ditanya pernah menyakiti seseorang dan kamu teringat aku, jangan khawatir, Malaikat pasti tahu kalau aku sudah mengampunimu.

Selamat jalan Hendry!