Halaman

Kamis, 26 Januari 2012

Sedih

Tadi pagi setelah menelepon Papi, saya menangis. Bukan menangis meraung-raung seperti waktu saya kecil saat tidak dibelikan mainan baru atau menangis sambil marah-marah ketika sering kali saya dilarang untuk keluyuran malam hari waktu jaman kuliah. Saya menangis tidak bersuara, hanya air mata yang tiba-tiba meleleh di pipi dan perasaan sakit di dalam hati yang tidak bisa dijelaskan bagaimana rasanya. Hanya perih.

Saya memang cengeng. Cenderung sensitif dan mudah menangis. Untuk hal-hal yang sebetulnya tidak perlu saja saya bisa mengeluarkan air mata. Dulu waktu kecil saya pernah menangis karena melihat ibu-ibu tua penjual kue cincin yang ikut berteduh ketika hujan di depan rumah. Si ibu sambil duduk menyenandungkan tembang sunda yang menyayat hati seperti sedang dilanda kesedihan yang teramat dalam. Saya yang mengintip dari balik jendela rumah tiba-tiba ikut menangis karena ikut merasakan kepedihan yang ibu itu rasakan.

Ya, panggil saja saya berlebihan. Tapi itu memang kenyataan.

Saya rutin menelepon Papi, sekedar menanyakan kabar beliau atau hanya bercerita mengenai aktivitas saya sehari-hari. Maklum sebagai anak yang tidak lagi tinggal di rumah, saya tidak bisa bertemu dengan beliau setiap hari. Jadi komunikasi melalui telepon kadang menjadi obat ketika saya merindukannya. Tadi pagi setelah bangun tidur saya langsung menelepon Papi, alasannya karena saya bermimpi tentang beliau tadi malam. Dalam mimpi saya, beliau meninggal dunia.

Saya menangis bukan karena mimpinya, tapi lebih karena respon yang Papi saya tunjukan ketika saya bercerita perihal mimpi saya tadi malam. Memang, menurut primbon tua yang sebetulnya tidak saya percaya, memimpikan seseorang meninggal dunia artinya bahwa orang tersebut akan panjang umur. Saya mengaminkan arti mimpi yang ini. Saya ingin Papi saya panjang umur. Tapi tetap saya menghubungi beliau untuk bercerita mengenai hal tersebut.

Awalnya saya menanyakan kesehatannya, kemudian saya baru bercerita tentang mimpi kalau beliau meninggal dunia. Beliau menanggapinya dengan tertawa, dan seperti sudah diduga beliau akan mengartikannya sebagai isyarat kalau beliau akan panjang umur. Lagi-lagi saya mengamininya.

Beliau kemudian berkata “Doakan saja supaya Papi panjang umur! Papi masih ingin bisa menghadiri pernikahan kamu dan adik kamu” Pernyataan yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Pernyataan yang membuat saya seperti tercekat di tenggorokan. Pengap. Kemudian saya berdiam. Lama. Setelah saya bisa menguasai keadaan, saya pamit kepada beliau karena saya harus siap-siap untuk berangkat kerja. Teleponpun saya tutup.

Saya tiba-tiba menangis. Sedih. Rasanya mendengar orang yang kita sayang mengucapkan keinginannya yang sampai sekarang belum bisa saya penuhi itu seperti merobek hati kita sendiri. Sakit.

Papi saya jarang menanyakan mengenai perihal kapan saya akan menikah. Bukan tidak pernah, tapi beliau seperti tidak memaksakan. Beliau mengerti dan tahu benar siapa saya, apa yang saya inginkan terlebih dahulu dalam hidup ini. Karenanya beliau tidak seperti kebanyakan orang-orang di luar lingkungan inti yang selalu mempertanyakan perihal pernikahan yang membuat saya seperti teriritasi. Memang lama-lama saya sudah kebal dengan pertanyaan tersebut, tapi tetap saja saya kesal kalau ada orang mempertanyakan lagi dan lagi mengenai hal tersebut.

Bukan saya tidak ingin menikah. Tentu saja saya ingin, dan bukan untuk alasan utama menyenangkan orang tua. Buat saya menikah itu hal yang prinsipil, yang harus saya lakukan dengan orang yang saya sudah yakin benar kalau dia memang dikirimkan Tuhan untuk saya. Untuk menemani dan berkolaborasi dengan saya yang seringkali complicated. Mungkin sekarang Tuhan belum percaya untuk mengirimkan jodoh bagi saya, tapi saya juga tidak berhenti berikhtiar. Pasti ada suara-suara sumbang setelah saya mengungkapkan hal ini, dan saya tidak peduli. Saya hidup demi kebahagiaan saya sendiri dan orang tua saya, bukan untuk kebahagiaan orang-orang di luar sana yang justru tidak mengerti maunya saya.

Tapi tetap saja saya sedih mendengar keinginan Papi yang ingin panjang umur agar dapat menghadiri pernikahan saya. Keinginan yang sederhana tapi sulit saya kabulkan dalam waktu dekat ini. Tapi siapa tahu Tuhan kemudian berbaik hati untuk membalikkan hati saya dan mempertemukan saya dengan jodoh yang sudah dipersiapkan oleh-Nya. Dan dengan begitu saya bisa membahagiakan Papi. Amin.

Selasa, 24 Januari 2012

Sang Pengkhianat

Dia mengkhianati saya. Lagi. Bukan sekali dua kali dia mengkhianati saya seperti ini, dan saya selalu seperti terbuaikan kembali. Saya mempercayainya lagi ketika saya sudah lupa, ketika luka yang ditimbulkannya sudah mengering tidak peduli menimbulkan noda keloid atau jaringan parut. Saya tetap menyerahkan segenap kepercayaan kepadanya. Lagi.

Saya bukan tidak kapok. Saya lebih memilih untuk buta. Dibutakan keadaan, dibutakan oleh janji yang sebetulnya belum genap dia ucapkan. Saya hanya yakin kalau janjinya akan menghasilkan sebuah kenyataan. Tidak perlu tepat, cukup mendekati. Hal itu pasti sudah membuat saya akan bernapas lega. Sering dikhianati olehnya saja saya masih tetap memupuk percaya, apalagi kalau dia sesekali mengabulkan janji yang saya paksa untuk dibuat olehnya.

Pernah dulu dia memperkenalkan pada cinta ketika saya beranjak remaja. Penuh tipu daya dia membuat saya tergila-gila, mencandu cinta seperti tidak ada besok lusa. Setengah mati saya menyemai rasa percaya, menikmati sensasi-sensasi baru yang belum pernah saya coba sebelumnya. Tapi dia mengkhianati saya, karena selain cinta dia mengajarkan saya apa yang disebut dengan cemburu. Perasaan yang membuat saya seakan menaiki perahu yang hampir karam. Terombang-ambing ketidakpastian. Sampai akhirnya benar-benar karam dan tenggelam.

Saya kehilangan cinta pertama saya. Kemudian saya terpuruk. Lama. Berusaha bangkit kembali sambil membenahi hati yang camping karena terlalu banyak mempertaruhkan percaya. Lewat catatan-catatan kaki yang sengaja saya buat ketika melangkah bersamanya saya kembali belajar, menghayati kehilangan yang saya rasakan sebagai bentuk sebuah pembiasaan. Semakin saya terbiasa, maka saya akan semakin cepat pulih ketika hal yang sama terjadi secara berulang. Begitu dia membisikan rapalan mantra yang sampai sekarang saya tidak pernah lupa.

Entah kekuatan apa yang dia punya, karena seperti apapun dia mengkhianati, saya tidak lantas membencinya. Marah pasti, karena bagaimanapun saya bukan benda mati yang hanya akan diam ketika dipermainkan. Tapi untuk benci sepertinya terlalu berlebihan, karena ketika amarah sudah mereda saya akan kembali menggandengnya untuk kemudian mengajaknya berjalan mengikuti setapak kecil yang terpampang di hadapan. Bersamanya saya menyongsong matahari pagi. Bersamanya saya menanam benih cinta. Lagi.

Dia seperti dua sisi mata uang. Hidup berdampingan tetapi memiliki sifat yang saling berlawanan. Mungkin saling menghilangkan, atau bahkan saling berkomplot menguji keberanian saya untuk terus bergerak tanpa pernah melangkah ke belakang. Buat saya, dia adalah penghkianat sejati. Tapi di lain sisi dia adalah sahabat yang bisa membuat saya percaya kalau saya mampu melewati berbagai rintangan yang sebelumnya tidak yakin bisa saya ampu dan lewati.

Saya tidak kapok dikhianatinya. Saya mau terus berjalan bersamanya. Karena dikhianati waktu sambil berjalan meniti potongan-potongan cerita sampai menjadi sebuah kesatuan cerita adalah ketentuan yang harus saya terima. Bersama waktu saya merefleksi diri, bersama pengkhianatan-pengkhianatan yang dilakukan waktu saya belajar untuk menjadi pemenang. Nanti. Ketika dia sudah bosan bermain di ranah yang akan saya jalani. Bilakah?

Jumat, 20 Januari 2012

Elegi Memori

Makanan dalam mangkok di depan saya sudah tidak lagi mengeluarkan asap. Kepulan yang tadi terlihat menggeliat di permukaan bakmi yang saya pesan menguap dihisap sunyi. Sesunyi hati saya saat itu. Lama saya menunggu sampai akhirnya saya menyimpulkan kalau dia tidak akan datang. Telepon selulernya tidak aktif, sms saya pending digantung ketidakpastian. Saya beranjak tanpa berniat menyentuh makanan yang sudah terlanjur saya pesan.

Kantin itu menjadi saksi, bagaimana saya mengakhiri kisah saya sendiri. Kantin itu memuat testimoni tentang saya yang memunguti hati yang terserak tak lagi berarti.

Lain hari sengaja saya datang lebih pagi. Selain untuk mendapatkan tempat parkir yang strategis, saya juga ingin membuktikan tentang sebuah eligi. Saya ingin tahu tentang siapa pengirim serial note yang dijepitkan di wiper mobil saya. Serial note yang selalu tanpa identitas, serial note yang membuat saya penasaran bukan kepalang karena berisi beragam sanjungan yang membuat saya seperti berada di dalam komedi putar. Pusing tetapi membuat ketagihan.

Saya tidak pernah mendapatinya sampai suatu hari note itu tidak lagi bisu. Di ujung kalimat pendek yang seperti biasanya dia membubuhkan nomer teleponnya. Penuh penasaran saya mengontaknya, dan sejak saat itu saya tidak lagi hanya seperti dalam komedi putar tapi berasa hidup dalam sebuah taman ria dengan berbagai arena permainan. Baik yang menyenangkan, menakutkan, membuat cemburu, bahkan membuat saya jatuh cinta. Kami menjalin cerita, dan berujung seperti halnya dinamika. Ada awalan yang harus ditutup dengan akhiran.

Lewat jalanan-jalanan sepi di dalam komplek itu saya berkeliling. Sendirian. Tidak tahu apa yang saya cari. Mungkin cinta, atau mungkin hanya teman. Saya hanya yakin bahwa keduanya mungkin bergelimpangan di jalan-jalan tersebut. Diantara bangunan-bangunan tua yang berbaur dengan bangunan yang lebih baru. Diantara hiruk pikuk orang yang hilir mudik menaniki tangga atau memarkirkan sepeda. Saya yakin disana ada cinta, saya yakin disana ada bagian saya untuk memintal lagi sebuah cerita. Tidak peduli kalau dari awal sudah bisa saya lihat sebuah ujung yang berderai. Saya hanya menikmati hidup.

Hari ini saya mengulanginya lagi. Parkir di tempat yang sama walau tidak berharap akan ada penggemar rahasia yang mengirimkan sebuah sapa tanpa nama berjepit wiper dan kaca. Waktu sudah jauh meninggalkan saya dari masa-masa itu, memahat undakan-undakan menanjak untuk saya terus bergerak ke atas dengan kemungkinan untuk saya mundur beberapa tahap sekedar berwisata. Melakukan napak tilas hati tanpa kesakitan yang sama yang mungkin dulu pernah tercipta. Saya menuruni undakan rasa untuk sekedar bernostalgia. Merasakan bahwa saya pernah disana dengan cerita yang sudah saya bundel dalam bandrol kenangan.

Hari ini saya menyusuri lagi jalanan lengang di bagian belakang komplek. Tidak menebar senyum seperti waktu dulu. Tidak berharap akan ada seseorang yang akan melihat aura yang saya umbar berlebihan ketika saya berjalan. Waktu saya sudah dibekukan disana, buka masanya untuk saya melakukan hal-hal tak masuk akal seperti yang dulu sering saya lakukan. Lagi-lagi saya hanya ingin bernostalgia. Menikmati perasaan yang mengembang hanya dengan membaui jejak yang pernah saya toreh disana. Jejak yang sebetulnya sudah hilang diganjar panas dan hujan bergantian.

Hari ini saya duduk lagi di kantin itu, mengamati kepulan asap yang keluar dari makanan yang saya pesan. Tidak ingin didahului dingin saya menyendok sedikit demi sedikit makanan ke dalam mulut yang ingin dipuaskan. Tidak seperti dulu, saya tidak ingin kesunyian menyergap saya meskipun saat ini saya juga sedang menunggu. Kali ini saya yakin dia akan datang, kali ini saya yakin waktu akan berbuah pertemuan. Sesekali saya lirik telepon genggam yang saya geletakan sampai akhirnya ada nada panggilan dari nomer yang saya kenal.

“Apis, Ibu sudah ada di ruangan. Kalau mau bertemu, beliau sudah bisa sekarang” Begitu kabar yang disampaikan sekertaris mantan dosen pembimbing saya.

Dulu saya menunggu cinta, hari ini saya menunggu mantan dosen pembimbing saya untuk meminta surat keterangan. Dua jenis penantian yang berbeda tetapi tetap memaksa saya untuk menikmati sepenggal kenangan yang pernah tercipta di kampus ini.

ITB, 20 Januari 2012.

Rabu, 18 Januari 2012

Empat

Hari ini 4 tahun lalu, sebuah taman bermain didirikan. Berbekal keberanian dan semangat yang menggebu, dengan prosesi ala kadarnya taman tersebut resmi dibuka. Tidak untuk umum pada awalnya, hanya sebatas area pribadi untuk sekedar merebahkan asa dan unek-unek yang membuncah di dalam dada.

Tidak banyak yang ditawarkan, hanya berisi sedikit alat bermain yang dibuat dari kayu-kayu usang hasil membongkar kas-kas yang dipungut di sekitar pelabuhan. Ada sebuah ayunan muram di pojokan taman untuk digunakan ketika sang empunya sedang gundah gulana, menerawang batas asa sambil berayun dari satu titik terbelakang ke titik terdepan. Ada juga jungkat-jungkit mungil yang diletakan di pinggiran kolam untuk dinaiki ketika bahagia dan gembira menyambangi si pemilik taman. Seringkali tidak ada pasangan untuk membuat jungkat-jungkit tersebut bergerak seperti takdirnya, sehingga si pemilik taman itu lama bertahan di dasar permukaan.

Lama-lama taman bermain tersebut tidak lagi asosial. Ada beberapa serangga yang memberanikan diri masuk untuk ikut bermain atau sekedar hinggap di kuncup bunga yang artifisial. Si pemilik taman merasa senang, karena setidaknya dia tidak lagi merasa sendirian dan kesepian. Ada yang bisa diajak berbincang meski sering kali hanya satu arah tanpa pernah ada tanggapan. Si pemilik lahan tidak keberatan, bahkan pada rayap yang kehadirannya justru merusak beberapa alat permainan yang dasarnya sudah usang.

Seiring waktu taman tersebut semakin ramai, banyak yang hilir mudik untuk sekedar menyaksikan drama tanpa suara yang sering dipentaskan. Tapi selayaknya sebuah tontonan, di akhir masa tayang pasti ada yang terhibur dan ada yang tersulut melawan karena merasa terlecehkan. Sang pemilik taman sadar akan semua kemungkinan, dan dia berkilah kalau dia hanya seorang pencerita. Penggagas drama tanpa suara di kepala. Dan dia sadar benar kalau dia bisa saja dielu-elukan kemudian dihujat habis-habisan. Lagi-lagi dia tidak keberatan.

4 tahun bukan waktu yang sebentar untuk si pemilik taman belajar melalui proses pendewasaan. 4 tahun membuatnya berulang kali memasuki siklus kehidupan yang hanya membuatnya berputar-putar. 4 tahun yang berbekas dalam ingatan karena dalam rentang waktu tersebut si pemilik taman tidak hanya mendapatkan sekumpulan teman tapi juga sekelompok musuh yang tidak bisa dihindarkan. Sebuah dinamika hidup yang mengajarkan bahwa tidak mungkin membuat semua orang suka pada sebuah taman bermain atau pada si pemiliknya itu sendiri.

Taman bermain itu mungkin lama-lama untuk sebagian pengunjung terasa membosankan, apalagi ketika drama yang dipentaskan hanya bersetting tentang kemuraman dan kesedihan. Karenanya si pemilik taman sedikit membuka diri, menyapa pengunjung di luar batas taman untuk memperkenalkan siapa dia sebenarnya. Masih lewat dunia maya tali silaturahmi terus dikencangkan, lewat hentakan-hentakan pulsa seluler tegur sapa tetap disampaikan.

Tapi kenyataan tidak seperti apa yang diharapkan. Banyak pengunjung yang tidak siap dengan siapa sesungguhnya pemilik taman. Mereka menarik diri dari jaring-jaring sosial yang pernah direntangkan, menarik diri dengan istilah unfollow yang sekarang sedang marak dilakukan para pengicau-pengicau melalui ekspresi 140 karakter. Tapi si pemilik taman lagi-lagi tidak keberatan, awalnya sendirian dan ketika harus berakhir sendirian maka itu sudah merupakan ketetapan sebuah permainan.

Apapun itu sekarang, 4 tahun bukan waktu yang sebentar untuk tidak mengucapkan terima kasih kepada para pelancong yang sudah meramaikan taman bermain sehingga berdinamika penuh kemeriahan. Terima kasih pernah dan masih meramaikan jalinan cerita yang diuntai melalui aksara dan kata tanpa suara. Terima kasih sudah setia menemani perjalanan sebuah taman bermain dari dulu hingga saat ini. Kalianlah saksi dari berbagai perenungan sebuah taman dan pemiliknya.

Hari ini taman aksara sedang berulang tahun yang keempat, dan saya apisindica sebagai pemilik taman sekali lagi mengucapkan banyak terima kasih atas semua apresiasi yang sudah diberikan. Tidak lupa saya juga memintakan maaf apabila ada tulisan-tulisan yang tidak berkenan yang membuat luka berkepanjangan di hati para pengunjung taman. Tidak ada maksud berlebihan dan tanpa ada maksud kesengajaan. Semua murni karena faktor kekhilafan.

Semoga saja taman aksara tidak berhenti berbenah hingga nanti usia senja.

Senin, 16 Januari 2012

Kontemplasi

“Jangan pernah meminta seseorang untuk tinggal ketika dia benar-benar ingin pergi”

Sebuah quote yang saya buat sendiri. Hasil dari beberapa kali terjerembab pada lubang yang kurang lebih sama. Mungkin benar saya tidak lebih baik dari keledai karena ternyata berulang kali terperosok pada masalah yang itu-itu saja.

Kalau menurut slogan salah satu deterjen, “nggak kotor maka nggak belajar” maka saya benar-benar belajar meskipun saya pasti akan digolongkan pada pembelajar yang lambat. Lalai dalam mencatat segala yang seharusnya terekam dalam nalar atau tersimpan dalam memori jangka panjang. Tapi paling tidak akhirnya saya belajar dan kemudian tersadar. Lagi-lagi sebuah pembenaran.

Meminta seseorang untuk bertahan dan tinggal sementara dia sudah benar-benar ingin pergi adalah perbuatan yang memboroskan energi. Menguras emosi. Tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari sebentuk harapan yang hanya kita gelembungkan sendirian. Mungkin akan membentuk sebuah gelembung utuh tapi tidak akan mampu menerbangkan suatu hubungan ke arah yang lebih baru. Dibutuhkan kerja sama dan pengertian dari dua belah pihak yang sama-sama ingin bertahan. Bukan tarik menarik antara ingin tinggal dan ingin beranjak meninggalkan.

Apa yang bisa diharapkan dari sebuah permintaan untuk tinggal ketika yang diminta tinggal justru keukeuh ingin berjalan sendirian? Tidak ada. Kalaupun dia berpikir kembali tentang keinginannya untuk pergi dan kemudian memutuskan untuk bertahan, maka pasti ada motif belas kasihan. Dan itu seperti memelihara bom waktu yang siap meledak kapan saja dengan kekuatan ledak yang dipupuki waktu. Saya saksi hidupnya, penghalusan dari kategori diri sebagai korbannya.

Tidak berusaha untuk membuatnya tinggal bukan berarti tidak berusaha. Kita pasti tahu kapasitas kita untuk berusaha sampai sejauh mana, dan ketika apa yang kita perjuangkan sudah di luar ambang batas kenormalan maka langkah yang terbaik adalah menyerah. Bertindak tidak egois dengan membiarkannya pergi sesuai dengan keinginannya. Mungkin kebahagiaan akan didapat ketika kita dan pasangan tidak lagi jalan beriringan. Siapa tahu.

Meminta seseorang tinggal patut dicoba ketika sebuah hubungan sudah di ujung perpisahan, tapi ketika yang diminta tinggal bersikeras untuk pergi maka biarkan dia bergi. Jangan mengiba, karena siapa tahu dengan memaksanya bertahan kita justru menghalanginya bertemu dengan kebahagiaan yang selama ini dia cari. Cinta itu membebaskan dan tidak mengekang. Cinta tidak egois dengan memaksakan apa yang kita rasakan kepada seseorang yang merasa dirinya sudah hambar. Dan saya bersyukur sudah berkali-kali ditempa untuk tidak (lagi) egois.

Ditulis sebagai hasil kontemplasi semalaman karena tidak bisa tidur diganggu masa lalu

Senin, 09 Januari 2012

Judes

Assalamualaikum,

Hai, apa kabar? Anda tentu ingat saya. Saya yakin itu. Bagaimana tidak, sudah dua orang teman saya menyampaikan salam anda untuk saya termasuk mengenai insiden buku atau apalah yang katanya pernah anda alami dengan saya. Jujur, insiden buku yang anda bewarakan kepada teman atau teman-teman saya tidak sedikitpun menempel di dalam kepala saya. Saya benar-benar lupa, bahkan mengenai anda sendiri saya hanya ingat bahwa anda teman satu kelas saya ketika SD. Hanya itu.

Bukan sombong, tapi coba anda ingat-ingat kapan terakhir kita bertemu? Dan mungkin waktu terakhir bertemu itu kita hanya saling menyapa tanpa berbincang mengenai banyak hal, tidak seperti dua orang karib yang mendadak dilanda euforia karena bertemu setelah rentang waktu memisahkan sekian lama. Kita tidak seperti itu, mungkin hanya sepatah kata “hai” dan saling melempar senyum kemudian terlupakan begitu saja. Waktu yang sudah begitu lama ternyata tidak mampu melemparkan kita pada dimensi yang sama.

Mengenai insiden buku, mungkin ada baiknya kalau anda menceritakan kepada saya seperti apa kejadiannya. Jadi sebelum teman-teman saya mentertawakan, saya sudah dibekali amunisi untuk tertawa bersama mereka tentang kebodohan atau mungkin kenaifan saya waktu itu. Ya, jaman saya berseragam putih merah, yang saking lamanya atau tidak berkesannya buat saya tidak terlintas di ingatan sedikitpun. Tapi sepertinya untuk anda itu berkesan dan membekas hingga anda mengingatnya sampai sekarang dan menceritakannya pada orang lain selayaknya kejadian yang baru terjadi kemarin sore.

Mungkin buat anda itu sepele, terlebih buat saya yang tidak bisa mengingatnya. Tapi ketika itu menjadi bahan lawakan atau ledek-ledekan antara teman-teman saya, saya jadi menganggapnya tidak lagi lucu. Apalagi saya tidak ingat seperti apa kronologisnya. Saya ataupun teman-teman yang lain sering menjadikan masa lalu sebagai bahan guyonan, dan saya atau mereka tidak pernah mempermasalahkan itu karena saya tahu konteksnya. Tapi mengenai insiden buku yang anda sampaikan kepada salah satu teman saya itu kemudian menjadi banyolan, saya sedikit teriritasi. Saya keberatan.

Saya tidak tahu apa motif anda. Mungkin anda (maaf) berpikir dengan berlaku seperti itu anda akan dianggap pernah menjadi teman atau bahkan sahabat saya, tapi anda salah. Sekarang saya malah menjadi antipati terhadap anda. Mungkin sekarang anda hebat dengan karier yang bagus, yang karenanya anda jadi sering hilir mudik ke luar negeri bahkan tinggal beberapa lama disana, tapi itu ternyata tidak membuka pola pikir anda yang sempit. Saya mungkin tidak sehebat anda, tapi saya juga pernah bersekolah di luar negeri yang saya yakin anda tidak tahu. Maaf saya lupa, anda sepertinya lebih mengurusi insiden ketika kita masih “bodoh” ketimbang urusan ketika kita sudah dewasa.

Lewat surat ini sebetulnya saya hanya ingin mengungkapkan keberatan saya. Maaf kalau anda terganggu dan tidak suka. Saya berhak keberatan karena yang anda umbar adalah hidup saya, masa kanak-kanak saya yang mungin telah saya ubah sedikit demi sedikit ketika saya beranjak dewasa. Bukankah itu yang namanya hidup? Selalu berbenah selagi berjalan mengelilingi khitah waktu. Anda boleh saja mengabari teman-teman saya kalau anda saya kirimi surat seperti ini, tapi alangkah bijaksananya kalau tidak anda lakukan. Cukuplah ini hanya antara saya dan anda. Demi masa lalu.

Terakhir saya berdoa semoga anda dan keluarga senantiasa diberi kebahagiaan oleh Tuhan, dan saya mohon dimaafkan apabila ada kata atau kalimat saya di surat ini yang tidak berkenan. Dan perlu anda tahu saya tidak mendendam, jadi kalau suatu hari nanti kita bertemu (lagi) mari kita bersapa seperti waktu terakhir kita bertemu walau yang keluar hanya sepenggal “hai”.

Salam,
Apis.


Semalam, saya tinggal mengklik tombol send dan kemudian surat ini akan sampai ke tangannya via jejaring sosial facebook. Tapi saya urung, karena setelah saya pikir-pikir sekarang giliran saya yang mungkin berlebihan. Masa lalu tetaplah masa lalu, kalaupun itu adalah sebuah kesalahan maka sekarang saat saya untuk terus memperbaikinya. Semoga Tuhan selalu memberi saya waktu untuk terus membenahi diri ke arah yang lebih baik. Amin.