Halaman

Senin, 02 Juli 2012

Monolog

Pertunjukan sudah lama digelar, bahkan ada beberapa fragmen yang sudah beberapa kali diulang. Dua, tiga, empat, bahkan puluhan kali dengan dalih bagian tersebut adalah bagian yang paling disukai. Paling menggambarkan atas apa yang tengah terjadi di dalam relung hati. Menggambarkan semua perasaan yang disembunyikan dalam berbagai adegan yang sebetulnya dengan mudah dapat dibaca. Sebuah kesepian yang tersamar.

Pertunjukan tidak selalu ramai pendatang. Ada waktu dimana pertunjukan seakan bisu, dan meski seperti itu pertunjukan tetap saja digelar. Dimulai dengan pembukaan, konflik, klimaks dan penutup yang mengharukan atau bisa jadi menyebalkan. Alurnya selalu begitu, tidak peduli ada yang bertepuk tangan atau hanya dibalas oleh sunyi yang membahana. Pertunjukan seperti putaran waktu yang setia berputar pada poros matahari. Berulang setiap hari. Tanpa henti.

Tujuan awal dari pertunjukan yang selalu diputar hanyalah sebuah eksistensi. Bermula dari sebuah pertanyaan besar yang tak kunjung menemukan jawaban yang memuaskan. Kadang jelas seperti tuts piano yang ditekan teramat dalam, seringnya samar seperti bunyi garputala di ujung getar yang berangsur diam. Tidak ada jawaban seperti apa yang diharapkan, tidak untuk saat ini. Mungkin nanti, atau mungkin tidak pernah ada karena keburu mati.

Pertunjukan sudah lama digelar, menyisakan banyak pengharapan ketika tirai diturunkan tanda sebuah lakon telah usai. Harapan-harapan yang tidak lebih akan berakhir serupa. Terserak bersama bangku-bangku yang teronggok sendu. Berdebu. Bangku-bangku yang seharusnya terisi oleh pengunjung yang dengan sukarela datang tanpa paksaan karena sebetulnya pertunjukan yang digelar tidak pernah menarik bayaran.

Aku pemeran utama dari pertunjukan yang terus saja diputar tanpa bosan. Merangkap sebagai pemeran pendukung, pengatur tata lampu, sekaligus tukang bersih-bersih  panggung setelah pertunjukan usai digelar. Banyak yang datang hanya membawa kesakitan, datang sekejap kemudian menghilang seperti tidak pernah terekam. Dan aku kembali harus membersihkan kepedihan yang mereka tinggalkan, mengumpulkannya dalam jambangan kesedihan yang sudah aku persiapkan dari awal.

Pertunjukan yang aku gelar lebih cocok disebut pentas monolog. Hanya aku yang berbicara karena kebanyakan dari mereka justru tidak bersuara. Datang hanya untuk mengotori hati dengan sebuah pengharapan semu yang justru menyisakan kepedihan baru. Menyisakan jejak air mata. Tapi aku tetap melakonkan cerita yang memang harus terus dimainkan, seperti takdir yang tidak bisa dihadang atau ditanggalkan. Aku terus berlakon, tidak peduli dengan mereka yang mulanya nyata kemudian berubah dusta.

Kusiapkan kursi spesial di jajaran paling depan. Berharap bahwa akan ada yang teristimewa yang menempatinya nanti, karena sampai saat ini belum ada yang berani. Kursi yang sunyi karena lebih sering diduduki sepi. Kursi yang berdebu karena banyak dihinggapi ragu.

Ada yang salah dengan aku. Ada yang salah dengan pertunjukan yang sudah sekian lama dimainkan. Sedemikian jujur aku mengejawantahkan hati, tapi tidak pernah ada yang datang mendekati. Sebegitu lugas semua rasa aku gagas, tapi tidak ada yang kemudian datang bergegas. Ada yang salah dengan aku. Ada yang salah dengan doa yang sudah sekian lama aku rapal dalam diam. Aku hanya tidak tahu sehingga aku hanya terbelenggu bisu.

Sedemikian tidak layaknyakah aku untuk sekedar dicintai? Disayangi tanpa syarat yang membelenggu imaji? Aku tahu, pasti ada yang salah dengan aku meski aku tidak tahu apa itu. Mungkin takdir dari pertunjukan yang sudah lama digelar memang hanya ilusi. Mimpi yang tidak akan pernah bertemu dengan apa yang dicari. Mimpi yang akan terus bergelung sebagai mimpi tanpa realisasi.

Di akhir pertunjukan kali ini, sebuah pertanyaan akan kembali ditabuh hingga gaduh. Sedemikian tidak layaknyakah aku untuk dicintai?

2 komentar:

dswrikandi mengatakan...

karena cinta barang mahal. menunggunya datang tidak seperti menunggu Zara diskon yang hampir pasti kapan waktunya. ;)

Apisindica mengatakan...

@dewi srikandi : terima kasih sudah berkunjung teman. Salam kenal :))