Halaman

Kamis, 28 April 2011

Getting Old

Bagaimanapun umur tidak akan bisa dibohongi.

Di salah satu bagian dari buku kicau kacaunya Indra Herlambang, dia pernah menulis kalau dia sempat ketiduran di sofa ketika sedang dugem. Jujur, saya sempat mentertawakannya. Bagaimana mungkin bisa tertidur ketika suasana sangat ramai bahkan seringnya lebih ramai dari pasar malam. Berasa tidak masuk akal, meskipun ada teman saya si dokter itu yang juga bisa tertidur dimanapun termasuk tempat dugem. Alasannya sih cape habis jaga, tapi apapun itu tetap berasa aneh buat saya.

Tapi kemarin hal yang sama terjadi pada saya, memang sih bukan ketiduran di tempat dugem tapi sesuatu yang tetap membuat saya berpikir bahwa umur memang tidak bisa dibohongi.

Berbekal semangat yang menggebu dengan beberapa teman, kami berniat untuk menghentak lantai dansa di Bandung. Mumpung bisa kumpul semua pas long week end dan merayakan selesainya UAN salah satu teman. Iya, UAN. Lihatlah bagaimana kami semua meracuni anak yang baru (akan) lulus SMA dengan dugem untuk merayakan keberhasilannya melewati UAN. Tapi sumpah, dia yang ingin ikut kok. Bahkan dia yang paling semangat.

Saya sih tertarik karena memang sudah beberapa bulan ini saya berhenti dari aktivitas yang sempat membuat saya kecanduan. Jadi semacam ritual mengenang masa kejayaan pikir saya, apalagi tempat yang akan kami datangi belum pernah saya datangi sebelumnya. Maka saya menerima ajakan teman-teman saya untuk menjajal (kembali) dunia pergaulan malam Bandung.

Jangan sebut Apis kalau misalnya tidak asik sendiri ketika DJ memainkan musiknya. Ini jugalah yang sering dikomplain teman-teman, katanya bagaimana mau dapet pasangan di dugeman kalau suka asik sendiri pas ‘goyang’. Igh, saya tidak pernah nyari pacar atau pasangan di dugeman yah. Tapi kalau ada yang nyantol itumah saya anggap bonus meskipun saya yakin benar kalau bonusnya tidak akan pernah bertahan lama. Jadi seringnya saya anggap seperti dapet hadiah uang gopean dari dalam kemasan chiki. Hiburan sesaat.

Kemarin di tengah euphoria massa, di tengah musik yang memekakkan telinga, ketika peluh sudah membasahi hampir seluruh badan, tiba-tiba saya berhenti. Saya seperti menjejak tanah setelah mengawang, tanpa awahan. Tanpa persiapan. Dan saya merasakan bosan yang luar biasa, bosan layaknya didera rutinitas yang itu-itu saja. Saya seperti berada di luar dunia saya, tersingkir begitu saja dari antrian. Saya kehilangan semua nafsu dan semangat saya untuk melanjutkan pesta malam itu.

Saya bergerak ke area bar di pinggiran kemudian membisikan keinginan untuk pulang pada salah seorang kawan. Saya benar-benar kehilangan keinginan untuk berpesta, entah karena apa padahal malam rasanya masih sangat panjang.

Tidak biasanya hal seperti itu terjadi, saya adalah pecandu pesta. Orang terakhir yang mungkin akan pulang setelah pesta benar-benar usai. Tapi itu dulu, ketika usia saya masih belia. Ketika tidak banyak beban yang berlarian di kepala untuk dituntaskan. Sekarang berbeda, pesta mungkin bukan lagi dunia saya. Dunia gemerlap bukan lagi tempat untuk berlari dari kejenuhan perasaan. Dan semuanya pasti karena satu hal, saya sudah beranjak tua. Dan umur tidak bisa dibohongi.

Apisindica - Untuk memahami postingan ini diperlukan membaca sebanyak : 1 kali

Senin, 25 April 2011

Mengenang Sang Dokter

Saya pertama kali mengenalnya sekitaran tahun 2000. Perkenalan profesional antara dokter dengan pasiennya. Waktu itu wajah saya dipenuhi jerawat, mungkin sedang puber sehingga ada ketidakseimbangan hormon yang menyebabkan tumbuhnya banyak jerawat. Saya memilihnya menjadi dokter kulit saya karena tempat prakteknya yang tidak jauh dari rumah dan waktu prakteknya yang malam. Saya bisa berobat sepulang kuliah, pikir saya.

Sebetulnya saya lupa bagaimana rupanya waktu itu, tapi ada yang membuat saya terkesan. Mungkin marah atau kecewa tepatnya. Saat saya berkonsultasi, dia hanya megarahkan senter ke wajah saya kemudian mengeluarkan dua pertanyaan. Apakah saya punya pacar dan suka keluar malam. Dua pertanyaan yang saya jawab dengan iya. Setelah itu dia menuliskan resep dan memberikan saya tagihan yang lumayan mahal untuk kantong mahasiswa jaman itu. Saya marah bukan karena harganya yang mahal, saya marah karena dia tidak sedikitpun memegang saya. Saya pikir kalau hanya bertanya punya pacar dan suka keluar malam, pembantu saya juga bisa.

Tapi obatnya mujarab, dan itu menghapus kemarahan saya. Dan karena obat yang diberikannya manjur saya tidak pernah lagi mengunjunginya.Tidak pernah lagi melakukan kontak secara profesional.

Tahun 2004, ketika saya mengambil program Magister saya bertemu dengan seorang teman yang kemudian menjadi sahabat terbaik saya, sampai sekarang. Namanya Diana Veranita. Suatu waktu dia bercerita kalau ibunya adalah seorang dokter kulit, dan mengalirlah kisah saya dengan dokter kulit di tahun 2000 itu. Tanpa diduga ketika dia menyebutkan tempat praktek ibunya, dan saya menyebutkan nama dokter kulit saya ternyata orangnya sama. Dokter kulit saya adalah ibu dari Diana Veranita, sahabat saya.

Semenjak itu, hubungan saya dengan dokter kulit itu terjalin lagi meskipun bukan secara profesional apalagi setelah pernikahan sahabat saya dimana saya menjadi MC nya. Saya semakin dekat dengan keluarganya, saya semakin dekat dengan Mami, panggilan saya kemudian kepada dokter kulit itu. Kami menjadi akrab satu sama lain.

Keakraban saya semakin bertambah ketika Mami dan ibu saya ternyata bekerja di rumah sakit yang sama. Mereka sering terlibat perbincangan yang intim khas ibu-ibu, apalagi kalau bukan soal anak-anaknya. Mami sering bercerita tentang harapannya kepada anak-anaknya dan Ibu saya juga demikian. Mungkin harapannya itu akan tersampaikan ke kedua belah pihak karena saya sering ngobrol dengan anak-anaknya Mami, begitupun mereka.

Sebulan lalu Mami sakit, dia sempat jatuh dan kepalanya membentur piano sehingga mengalami pendarahan. Sejak itu kondisinya menurun meski sudah keluar dari rumah sakit. Dengan alasan selalu pusing, Mami tidak mau beranjak dari tempat tidurnya dan melakukan semua aktivitasnya di atas tempat tidur. Saya pikir kondisinya akan membaik mengingat semangat kerjanya yang masih tinggi, tapi saya salah. Tuhan punya rencana lain.

Jumat kemarin, 22 April 2011. Mami dipanggil Allah di usianya yang 72 tahun. Mami menyerah pada penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Mami berpulang karena mungkin sudah menyelesaikan semua tugasnya, buat anak-anak dan keluarganya. Saya mungkin orang luar tapi saya merasa memiliki kedekatan tersendiri dengan Mami, dan saya bisa merasakan semangat juangnya bagi keluarga.

Selamat jalam Mami, semoga Mami mendapat tempat yang paling baik di sisi Allah dan mendapatkan kelapangan dalam menuju surga-Nya. Amin.

Mengenang, dr. Sri Werdari, Sp.KK

Notes: Pertemuan saya terakhir dengannya sekitar 2 minggu yang lalu. Waktu saya menjenguknya, dia sedang makan rempeyek. Kami ngobrol sangat akrab berdua di kamar mengenai hal ini dan itu sambil saya usap-usap tangannya. Terakhir ketika saya akan pamit pulang, dia bilang : “Pis, Mami pengen kepiting canary” Dan saya bilang nanti kalau saya ada tugas ke Balikpapan saya pasti akan bawakan. Maafkan Mi, saya belom sempat membawakannya.

Apisindica : untuk memahami postingan ini diperlukan membaca sebanyak : 1 kali

Kamis, 21 April 2011

Polisi vs Ulat Bulu

Indonesia belakangan ini dilanda demam 2 hal, Briptu Norman Kamaru dan Ulat bulu. 2 Hal yang tentu saja berlainan tetapi menyita perhatian sama besarnya. Saking besarnya perhatian masyarakat, dapat dengan mudah menenggelamkan BESARnya kasus Malinda Dee.

Sebetulnya apa sih hebatnya Norman Kamaru atau ulat bulu?

Norman, seorang polisi brimob dari Gorontalo yang tiba-tiba terkenal karena vidio lipsync indianya di you tube. Sebentar, saya harus mengucapkan terima kasih dulu pada Norman karena berkat dia saya jadi tahu kalau Gorontalo itu sekarang sudah jadi provinsi dan bukan lagi sebuah kota kecil. Boleh bilang saya ketinggalan jaman, atau salahkan pengetahuan geografi saya yang dari jaman sekolah memang tidak pernah bagus. Sudahlah.

Apa istimewanya sebuah video lipsync yang kemudian diunggah ke situs youtube? Seharusnya tidak ada kan? (dilafalkan dengan nada sirik dan mata yang memincing). Banyak orang sebelum Norman yang sudah melakukannya, tapi kenapa tidak sespektakuler Norman? Kenapa tidak membuat orang-orang tersebut menjadi “selebritis” dadakan seperti halnya Norman? Jangan bilang masih ada yang tidak mengenal siapa itu Norman Kamaru! Kalau belum tahu siapa dia, segera nyalakan televisi. Dari stasiun tv favorit sampai stasiun tv lokal semuanya mengulas tentang dia,dan tiap hari. Saya ulangi, tiap hari, seakan setiap kegiatannya harus diketahui oleh seluruh masyarakat Indonesia (Ya, saya kembali nyinyir yang mungkin dibumbui sedikit sirik lagi).

Saya kemudian tergelitik untuk bertanya, meski saya tidak tahu kepada siapa saya harus bertanya. Sebegitu kurangnyakah sosok yang bisa diidolakan oleh masyarakat Indonesia? Sebegitu hausnyakah orang-orang tersebut terhadap sosok panutan yang bisa dijadikan semacam “pahlawan”? Terus terang saya miris, sumpah kali ini saya tidak sirik. Saya miris karena ternyata masyarakat kita masih terjebak dalam paradigma dangkal yang justru reaktif terhadap hal-hal yang sebetulnya tidak perlu. Mungkin saya apatis, tapi lihat apakah masyarakat mengelu-elukan juga pemenang olimpiade biologi internasional misalnya seperti yang mereka lakukan kepada Norman? Saya yakin semua juga tahu jawabannya.

Tapi (mungkin) Norman Kamaru memang sosok yang berbeda. Spesial karena dia berasal dari kelompok yang tidak biasa. Seorang polisi yang biasanya penuh wibawa kali ini tampil dengan tingkah pecicilan atau banci tampil kalau boleh saya meminjam istilah salah satu presenter di televisi swasta. Dan kalau banyak yang terhipnotis dengan kehadirannya, mungkin saya bisa bilang karena dia man in a uniform. Siapa sih yang tidak mengidolakan man in a uniform? Bahkan banyak kalangan yang masih memiliki fantasi “liar” terintimidasi oleh man in a uniform. Hayo yang merasa tersindir pada angkat tangan!!!

Tapi ya sudahlah, mungkin rezekinya Norman juga. Lebih baik kita mendoakan dia supaya tetap menjadi pribadi yang katanya sederhana. Tidak silau oleh popularitas yang sekarang memayunginya. Amin.

Bagaimana dengan ulat bulu? Fenomena binatang menggelikan itu juga menyedot perhatian khalayak. Mungkin tidak masuk nalar bagaimana binatang itu bisa mengalami ledakan populasi sampai ratusan ribu jumlahnya di suatu daerah. Tapi ketika dikaitkan dengan anomali alam, siapa yang bisa menyangkalnya. Alam punya bahasa sendiri untuk bereaksi terhadap ketidaknormalan situasi yang tengah terjadi, ledakan populasi ulat bulu salah satunya.

Kalau satu mungkin masih bisa dibilang lucu, tapi ketika jumlahnya sudah ratusan ribu kesannya jadi horor. Dan terus terang saya geli melihat ulat bulu meskipun tidak jijik. Hal tersebut juga membuat saya bertanya kenapa dulu waktu jaman kuliah ngambil mata kuliah entomologi yang salah satu materinya tentang ulat bulu. Pernah untuk kepentingan praktikum saya keluar masuk kebun untuk mengumpulkan beragam jenis ulat, dan saya tidak keberatan. Tapi ketika jumlahnya sudah di luar nalar melihanya saja nyali saya menciut.

Apa hubungan Norman dengan ulat bulu? Tidak ada sebenarnya, terlepas dari Norman mungkin mempunyai “ulat bulu” atau tidak (apasih?). Tapi ternyata apabila dikaitkan bisa kita temui benang merahnya. Karena booming ulat bulu ini, banyak peneliti yang berusaha memecahkan masalah tersebut. Mereka berlomba-lomba mengeluarkan “senjata” rahasia mereka untuk penanggulangan ulat bulu ini tidak terkecuali saya. Dan mungkin ada harapan apabila berhasil bisa terkenal di seantero Indonesia. Oh please, itu mungkin hanya ada di pikiran saya yang sempit.

Seminggu lalu saya dikirim kantor ke Probolinggo untuk mencermati fenomena ini sambil membawa senjata tentu saja. Kebetulan di laboratorium yang saya kelola, saya mengembangkan cendawan entomopatogen untuk memberantas hama tanaman. Yang tidak mengerti cendawan entomopatogen itu apa, silahkan googling di wikipedia (bercanda). Cendawan entomopatogen adalah cendawan yang akan menginfeksi tubuh serangga termasuk ulat bulu bila terjadi kontak langsung dan kemudian membunuhnya perlahan.

Efektivitasnya cendawan entomopatogen yang saya kembangkan untuk ulat bulu yang sedang merajalela di lapangan memang belum diketahui, tapi kemarin saya sudah menyebarnya di titik-titik booming. Sampai sekarang masih monitoring, dan jangan berharap prosesnya akan instan seperti halnya zat kimia. Rekasinya memang perlahan tetapi ramah lingkungan (pasang selendang green peace) dan user friendly. Jadi kita tunggu saja hasilnya.

Kalau ditanya apa yang saya harapkan? saya berharap formulasi saya berhasil menekan perkembangbiakan ulat bulu tersebut , sehingga memutus siklus metamorfosisnya. Hanya itu? Tidak. Saya juga berharap lain. Kalau berhasil memecahkan masalah tersebut, saya juga berharap akan terkenal tanpa harus merekam video lipsync semacam lagu India Chaya-Chaya dan kemudian mengunggahnya ke youtube seperti yang dilakukan Norman. Tapi kalau ternyata meskipun saya berhasil tetapi tidak menjadi pusat perbincangan masyarakat seperti halnya Norman bagaimana? Ya sudahlah mungkin memang nasib saya.

Note: Ditulis ketika kepala sedang diduduki beban kerjaan sebesar Gajah bunting kembar 10 dan mengalami eklampsia.

Apisindica – Untuk memahami postingan ini diperlukan membaca sebanyak : 1 kali

Senin, 18 April 2011

5 Tahun Lalu

Hari ini, tepat 5 tahun yang lalu dia masih berada di kampusnya. Kampus yang menurut dia bisa mengantarkannya pada pintu-pintu realisasi mimpi masa kecilnya. Di kampus itu dia tumbuh menjadi dewasa melalui pembelajaran yang tidak hanya soal materi tapi juga soal hidup. Di kampus itu dia kemudian mengerti bahwa kenyataan hidup ternyata tidak semudah apa yang didikte oleh otak polosnya. Hidup tidak pernah gampang.

Hari ini, tepat 5 tahun yang lalu dia sampai pada salah satu pintu impiannya. Satu pintu dari sekian serial pintu yang harus dia lewati untuk mewujudkan impiannya. Pintu-pintu yang menurut kebanyakan orang terlalu muluk untuk diwujudkan, terlalu memaksakan bila harus dilalui dalam rentangan waktu yang telah dia bataskan. Tapi dia bergeming, dia percaya dengan kekuatan doa dan usaha dia pasti akan mampu melewati pintu-pintu itu satu per satu.

Hari ini, tepat 5 tahun lalu, saat usianya masih terbilang cukup muda dia membuktikan bahwa ternyata dia bisa. Mendobrak ketakutan yang membelenggunya dan keluar sebagai pemenang. Tidak untuk orang lain, dia menjadi pemenang untuk dirinya sendiri. Mengalahkan stigma dan ego yang memberondongnya dengan berbagai keniscayaan yang mustahil untuk diwujudkan. Dia berhasil.

Di depan pengujinya hari itu, dia menggunakan pakaian terbaiknya. Pakaian yang mungkin dia cari lebih lama dari lama waktu penulisan karya ilmiahnya. Hari itu, di depan para penguji dia mempertahankan hasil penelitiaanya. Dengan sedikit gemetaran pada awalnya, dia berargumen mengenai ini dan itu untuk membuktikan kesahihan teori yang dia hasilkan. Sekuat tenaga dia memutar otak ketika mendapatkan pertanyaan yang memaksanya mengingat lebih lama, semisal bahwa reaksi antara asam laktat dan alkohol akan menghasilkan senyawa baru bernama ester. Sayang dia lupa.

Hari ini, tepat 5 tahun lalu disaat usianya masih 24 tahun dia lulus sidang S2.

Satu mimpinya kembali terealisasi. Sesuai dengan target hidup yang sudah dia tentukan. Menurutnya hidup harus memiliki target agar dia terpacu untuk berusaha lebih keras. Tidak menyerah ketika banyak kegagalan. Dan hari itu target untuk lulus S2 ketika usianya 24 tahun terwujud setelah target sebelumnya untuk lulus S1 di usia 21 juga terwujud. Hari itu dia berhasil (lagi) melewati satu pintu impiannya. Meretas asa yang menurut banyak orang entah untk apa.

Sekarang, ketika usianya mendekati angka 30 dia belum juga beranjak. Target untuk merampungkan S3 di usia 30 sepertinya tidak akan terwujud. Hari ini, 5 tahun lalu dia pernah berikrar pada dirinya sendiri untuk meraih gelar doktornya di usia paling tidak 30. Tapi ternyata kali ini dia gagal membuktikannya. Dia mengaku kalah pada target yang pernah dia tulis di kertas semangatnya. Tapi dengan kalah tidak berarti kemudian dia memadamkan semangatnya, dia tidak menyerah. Dia hanya merevisi ulang target hidupnya karena ternyata jalan hidup lagi-lagi tidak mudah. Banyak hal yang bisa saja menjadi rintangan untuk sekedar mewujudkan sebuah idealisme. Yang penting dia tidak pernah menyerah. Itu sudah jauh dari cukup.

Hari ini, 5 tahun lalu, saya, Apisindica pernah berjanji untuk menjadi seorang doktor. Dan hari ini, 5 tahun kemudian, Saya Apisindica tetap berjanji untuk mewujudkan keinginanannya menjadi seorang doktor meskipun tidak lagi pada koridor yang sama yang dulu pernah dia bayangkan sebelumnya.

Tolong bantu saya dengan doa.

Apisindica – Untuk memahami postingan ini dibutuhkan membaca sebanyak : 1 kali

Kamis, 14 April 2011

Saya Tidak Tahu

Ketika sebuah hubungan berakhir haruskah semuanya juga berakhir? Menutup semua akses komunikasi semisal menghapus nomor telpon, PIN BB, ID YM bahkan me-remove pertemanan di jejaring sosial macam facebook atau twitter hanya untuk alasan meminimalisir rasa sakit hati yang mungkin akan muncul kemudian. Perlukah melakukan semua itu?

Kalau saja ikatan pernikahan bisa berakhir apalagi hanya hubungan spesial bernama pacaran. Saya meyakini bahwa sesuatu yang memiliki awal akan mengandung akhir, entah itu akhir yang menyenangkan atau akhir yang justru menyedihkan. Dan bukankah ketika kita sudah memutuskan untuk memulai sesuatu kita harus siap dengan sebuah akhir? Jadi kenapa harus terlalu reaktif dengan akhir yang sebetulnya kita tahu mungkin saja menghadang di hadapan?

Tapi saya tahu kalau tiap orang berlainan. Memiliki cara sendiri-sendiri untuk mengatasi kesakitan yang ditimbulkan oleh sebuah perpisahan. Setiap orang dengan caranya sendiri menyikapi kenyataan bahwa sesuatu yang diperjuangkannya tidak bisa lagi beriringan. Banyak yang marah, banyak juga yang didera sedih berkepanjangan, tapi tidak sedikit juga yang sepertinya santai menghadapi semua itu. Tergantung pada individunya masing-masing.

Dulu waktu saya masih hijau, dan mungkin masih sehijau shreek saya pasti akan mengalami sedih berkepanjangan ketika hubungan yang saya perjuangkan ternyata harus diterminasi. Entah itu berdasarkan kesepakatan bersama atau keputusan sepihak. Yang pasti saya akan bersedih dan merasakan bahwa saya sedang berada di titik kulminasi paling rendah dalam siklus kehidupan saya. Merasa bahwa itu mungkin akhir dari segala-galanya. Membuat saya hidup dalam kebencian terhadap sang mantan.

Biasanya dengan perasaan sedih saya membereskan barang-barang kenangan pemberian sang mantan ke dalam satu box kemudian mengembalikan kepadanya. Kalaupun dia tidak mau menerimanya maka saya akan membuang semua benda-benda tersebut. Tidak ingin saya terlingkarkan dengan kenangan yang akan datang perantaraan barang-barang tersebut. Keberadaannya hanya akan menjadi semacam siksaan yang menempatkan saya pada perasaan marah dan sedih. Menyingkirkan semuanya adalah langkah yang saya pikir paling tepat.

Tapi sekarang saya tidak lagi hijau. Kehidupan membuat pemikiran saya matang, membuat saya mengerti bahwa siklus itu akan terus dijalani. Bukan hanya siklus ketika saya harus menghadapi perpisahan tapi juga siklus ketika saya mencari pelabuhan untuk bersandar. Pelabuhan yang kemudian saya merasa aman dan nyaman untuk melemparkan jangkar dan mengaitkan hati pada dermaga yang penuh dengan pengharapan. Pelabuhan yang sampai saat ini ternyata belum saya temukan.

Saat ini saya menginginkan sebuah hubungan yang dewasa. Hubungan yang tidak banyak drama meskipun laga bagai sinema itu diperlukan sesekali untuk mengusir kebosanan. Saya ingin hubungan yang bisa mendewasakan pemikiran dalam menapaki jalan yang terpampang di depan. Jalan yang pastinya tidak gampang karena dua ego yang akan beriringan. Tapi ketika seseorang itu nanti dikirim Tuhan, saya akan mempersiapkan diri untuk menjadi yang terbaik. Buat dia, buat saya, buat kami.

Mungkinkah itu kamu? Seorang mantan yang tinggal di benua seberang, yang dua tahun lalu sempat singgah sebentar dan kini kembali datang? Saya tidak tahu.

Apisindica – Untuk memahami postingan ini diperlukan membaca sebanyak : 1 kali

Senin, 11 April 2011

30 Anniversary

Selamat Ulang Tahun Pernikahan yang ke-30

Semoga undakan baru ini bisa membuat kalian terus bertransformasi menjadi sesuatu, dan bersinergi serta mengokohkan janji yang sudah kalian ucapkan ketika pertama kali saling mengikatkan diri.

Semoga di usia pernikahan yang semakin tua, justru membuat kalian menemukan (lagi) berbagai kebahagiaan yang sebelumnya belum sempat dikecap. Kebahagiaan yang membuat kalian tidak akan pernah menyesal untuk senantiasa berdampingan. Kebahagiaan yang justru merekatkan ikatan yang sebetulnya telah kuat, dan membawa kalian pada rasa syukur berkepanjangan karena telah mempertahankan sebuah ikatan.

Saya selalu ikut mendoakan demi datangnya kebahagiaan-kebahagiaan itu. Tidak lelah juga saya mengucap syukur karena telah menjadi bagian dari perjalanan kalian. Menjadi semacam saksi atas pergerakan kalian mengitari hidup yang seringnya tidak gampang. Saya bangga menjadi bagian itu, saya bangga menjadi sebuah kebahagiaan yang mungkin pernah hadir dalam kehidupan kalian. Saya bangga memiliki kalian selamanya.

Tapi sampai saat ini saya yang justru belum memberikan kebahagiaan lain yang pastinya kalian harapkan. Saya tahu bukan harta atau kekayaan yang kalian harapkan dari saya. Kalian sudah memiliki itu semua, tapi bentuk kebahagiaan lain yang sampai saat ini belum bisa saya berikan. Bukan saya tidak mau, bukan juga saya tidak berusaha, tapi ternyata sulit sekali mendapatkan kebahagiaan yang kalian harapkan itu.

Maaf karena sampai usia pernikahan kalian yang ke-30 ini saya belum juga bisa membahagiakan kalian dalam hal itu. Jangankan cucu, pendamping hidup saja saya belum menemukannya. Saya tahu tanpa diucapkan, kalian mengharapkan itu. Melihat saya berdampingan dengan jodoh saya dan mengikuti jejak kalian menjalani hidup sambil berpegangan dan bukan sendirian. Saya benar-benar minta maaf karena semuanya tidak semudah yang kalian bayangkan. Tapi saya berjanji saya akan berusaha mengabulkannya. Kalau tidak sekarang mungkin nanti, bantulah saya dengan doa seperti biasanya.

Dan perlu kalian tahu, bahwa sebenarnya saya juga sudah tidak sabar untuk menunggu hari pernikahan saya sendiri. Saya ingin melihat jodoh seperti apa yang dikirim Tuhan sampai lama begini.


Apisindica - Untuk memahami postingan ini diperlukan membaca sebanyak 1 kali

Kamis, 07 April 2011

Harusnya Kubunuh Saja Dia

Harusnya kubunuh saja dia. Kubunuh sejak aku sadar bahwa dia mengikuti hidupku selayaknya bayangan yang tak mau enyah. Menguntitku kemanapun aku pergi, bahkan dia bersekolah di tempat aku sekolah. Berteman akrab dengan teman-temanku. Sampai sekarang. Ya, memang harusnya aku membunuhnya saja dari dulu.

Dulu, aku merasa sangat nyaman hidup dengannya. Bermain dengannya membuatku selalu nampak ceria walaupun hatiku sedang berdarah-darah. Bersahabat dengannya membuatku banyak disukai oleh orang lain. Dampak dari kedekatanku dengannya tentu saja. Dia juga yang mengajarkan bagaimana selalu bersikap manis di depan orang-orang. Tapi kemudian dia juga yang melatihku bagaimana tidak punya malu. Argh, complicated juga bersahabat dan hidup bersamanya.

Tapi sekarang aku baru tahu, ternyata dampak jangka panjang dari berteman dengannya adalah menyulitkan. Menyulitkan aku untuk lepas dari bayang-bayangnya. Dia kadang mendominasi perilakuku sehingga jati diriku yang ingin aku munculkan tercover dengan sempurna. Kalau sudah seperti ini aku kadang hanya bisa berdamai dengannya. Mengikuti jalan alur pikirannya.

Aku bosan dengan tingkahnya. Aku kadang ingin menjadi diriku sendiri. Makanya sudah sepantasnya aku membunuhnya.

Salah satu temanku pernah bilang, jangan dibunuh karena suatu waktu pasti aku akan membutuhkan lagi kehadirannya. Menopengiku dengan keluguan yang bisa dimengerti, bisa dianulir.

Setelah bersahabat karib dengannya selama hampir 30 tahun, memang sangat menyulitkan ketika ingin beranjak meninggalkannya. Dia seperti sudah terikat erat dengan jiwaku. Menyatu dengan ikatan yang lebih dari sebuah persaudaraan. Dia sudah sedemikian menjelma dalam setiap tindak tandukku, menyerobot ketika aku berusah ingin mengenyahkannya sekejap.

Aku ingin lepas dari belenggunya sebentar saja, hanya untuk mengetahui reaksi teman, sahabat dan orang-orang terdekat dengan kepribadianku yang tidak dipengaruhinya. Makanya aku ingin membunuhnya.

Ya, harusnya aku bunuh saja dia. Dari dulu. Anak kecil yang ikut tumbuh dalam diriku.

Apisindica - Untuk memahami postingan ini diperlukan membaca sebanyak 1-2 kali

Senin, 04 April 2011

Teman Seperjalanan

Mau tidak mau, suka tidak suka, kalau kita bepergian agak jauh apalagi perginya sendirian pasti kita akan punya temen seperjalanan. Temen seperjalanan dalam artian orang asing yang duduk di sebelah kita. Mau pergi pake travel, bus umum, kereta api, bahkan pake pesawat terbang sekalipun, kita pasti akan bertemu dengan temen seperjalanan ini.

Sayangnya, temen seperjalanan nggak bisa kita pilih. Masih mending kalau kita datangnya belakangan, kita punya hak prerogative penuh buat milih dengan orang yang kaya gimana kita pengen duduk. Inipun kalau konteksnya dalam bis umum. Tapi kalau duduknya sudah ditentukan berdasarkan nomer di tiket, berarti tinggal nunggu nasib aja.

Peraturan nomer satu kalau kita bepergian pake bis umum dan kita punya hak untuk milih dengan siapa kita mau duduk adalah don’t judge a book by it’s cover. Jangan tertipu penampilan. Gaya oke, tampang menjanjikan tapi pas diajak ngobrol tulalit dan garing bisa bikin kita mati gaya. Apalagi kalau jarak tempuhnya jauh, derita lo bakal panjang. Kalo dah gini mending pura-pura tidur aja (meski nggak ngantuk) atau sibuk sendiri dengerin iPod (meski iPod lo abis batere). Pretending is better than garing.

Kalo temen seperjalanan lo udah diatur pake nomor di tiket, peraturannya laen. Lo boleh memulai pembicaraan, tapi inget jangan terlalu bersemangat. Bisa-bisa temen seperjalanan lo malah ilfil dan berusaha ngindarin lo dengan sok sibuk sendiri. Biasa-biasa aja. Lempar topik yang sederhana, jangan yang berat-berat, yang bisa ngasih lo gambaran dia orangnya kayak apa. Syukur-syukur kalo asik, tapi kalo garing……kembali ke peraturan awal, sok sibuk sendiri. Kalo nggak bisa, tinggalin tidur!

Berdasarkan pengalaman gue, maka temen seperjalanan itu bisa dikelompokan menjadi :

Temen seperjalanan yang pendiam. Dari mulai duduk aja dia udah sok pura-pura tidur. Itu tandanya dia ngasih warn buat “jangan ganggu gue!”

Temen seperjalanan yang ramah. Selalu tersenyum dan bertanya ini itu atau menjawab pertanyaan kita dengan sopan.

Temen seperjalanan yang suka nawarin cemilan. Semua yang dia makan atau dia minum selalu ditawarin ke kita. Kalo mau, lo boleh ambil. Tapi kalo kata gue mendingan jangan. Bukannya suudhon, tapi kalo besoknya lo ditemukan pingsan tak sadarkan diri sementara barang lo raib semua kan lebih berabe. Mending ati-ati timbang kejadian

Temen seperjalanan yang egois. Dari mulai ngobrol, yang diomongin cuman dia dan kehidupannya. Waktu lo nguap pura-pura ngantuk, dia malah nawarin permen kopi. Biar nggak ngantuk katanya. Hu-uh. Bikin keki.

Temen seperjalanan yang suka pamer. Symptomya jelas. Omongannya selalu tinggi, bahkan nggak jarang suka nepuk-nepuk dada sendiri. Orang kayak begini biasanya juga nggak mau disela omongannya.

Temen seperjalanan yang tulalit. Kita ngomong kemana, dia nanggepin kemana. Kalo ada yang begini, langsung minum antimo biar ngantuk

Temen seperjalanan yang sok asik. Laganya kayak yang gape akan semua hal, tapi lama kelamaan kok malah ketahuan kalo wawasannya nggak luas.

Temen seperjalanan yang asik beneran. Yang beginian bisa dibawa enjoy sepanjang perjalanan. Nyambung terus, even for some hard topics. Berasa surga deh kalo uadah nemu temen seperjalanan kayak gini

Temen seperjalanan yang minta digampar. Nanya-nanya mulu, bahkan untuk masalah-masalah pribadi yang nggak mungkin juga gue umbar sembarangan. Ngejar-ngejar terus sampe dia ngedapetin jawaban yang dia harapkan

Temen seperjalanan yang punya maksud terselubung. Abis asik ngobrol ngalor ngidul, eh ujung-ujungnya nawarin produk MLM nya dia. Mana maksa mau maen ke rumah buat ngenalin produknya. Igh….dasar mental MLM. Jualan aja pikirannya.

Kita boleh mengharapkan temen seperjalanan kayak gimana, tapi alangkah lebih baiknya kalo kita menset diri kita biar jadi temen seperjalanan yang menyenangkan buat orang lain.

Besok-besok gue mau jadi temen seperjalanan yang lebih tau diri ah………

Apisindica - Untuk memahami postingan ini diperlukan membaca sebanyak : 1 kali

Jumat, 01 April 2011

Saya Takut

Gemetar saya membuka surat itu.

Berbagai ketakutan hadir bergantian ditayangkan dalam bingkai ketidakpastian. Saya mencoba menguatkan hati saya, mencoba siap dengan segala kemungkinan. Yang terburuk sekalipun.

Baris demi baris saya lewati dengan detak jantung yang berdegup di luar ritme kewajaran. Belum sampai di akhir surat mata saya terasa kabur. Air mata yang mengambang membuat penglihatan saya seperti tertutup embun. Saya mendadak lemas, tulang rasanya dilolosi dari tubuh saya sendiri. Tidak lagi ada kekuatan untuk sekedar menopang bobot tubuh, Saya terduduk lemas di bangku tunggu rumah sakit tadi malam.

Seharusnya saya siap. Seharusnya saya sudah bisa menebak hasil diagnosis yang akan dokter berikan. Tapi saya salah duga, saya tidak sekuat apa yang saya bayangkan. Vonis itu tetap membuat saya seperti dihadapkan pada kiamat kecil. Bagaimanapun saya tidak akan kuat untuk menerima kenyataan bahwa penyakit itu memang benar bersarang di badan saya. Ikut tumbuh dengan leluasa tanpa bisa dihindari.

Mungkin memang saya yang telat memeriksakan. Mentolelir semua tanda keberadaannya hanya sebagai penyakit biasa. Tidak pernah berpikir lebih lanjut bahwa itu bisa saja merupakan symptom dari penyakit yang mematikan. Saya akui saya salah. Terlambat menyadari, terlambat memeriksakan, dan terlambat melakukan serangkaian tes untuk membuktikan bahwa sebenarnya itu hanyalah penyakit biasa. Saya salah prediksi, semakin saya biarkan ternyata penyakit itu justru dengan gegap gempita mensabotase tubuh saya. Membuatnya kehilangan kendali atas kekuatannya sendiri.

Saya teringat mati, dan saya belum siap untuk itu. Saya belum membahagiakan kedua orang tua saya. Saya belum memberikan kesempatan untuk jodoh saya bertemu dengan pelabuhan terakhirnya, saya. Semakin mengingat itu, semakin menyesakan beban yang seperti tertanam di rongga dada saya yang sempit. Sesak. Saya juga ingat dosa, sekian lama saya hidup pasti dosa saya tidak lagi sedikit. Bagaimana saya bisa menguranginya kalau ternyata waktu yang tersisa tidak lagi lama. Saya takut mati. Saya benar-benar takut.

Sel-sel tidak wajar itu entah bagaimana bisa sampai hidup menumpang di otak saya. Tumbuh dengan subur kemudian memblokade fungsi otak itu sendiri dengan membuat saya sering mengalami black out. Harusnya dari sana saya menyadari ada yang tidak beres dengan kepala saya, tapi seringkali saya mentolelirnya. Saya pikir itu hanyalah efek dari rutinitas saya yang akhir-akhir ini diluar batas kemampuan. Efek kelelahan luar biasa akibat tubuh dijejali beban diluar kemampuannya. Ternyata saya salah. Lagi-lagi saya salah.

Tapi minggu lalu saya menyerah. Saya menyeret tubuh saya yang sudah kehilangan banyak fungsi ke rumah sakit. Malam sebelunya saya mengalami kejang hebat kemudian sakit kepala dan mual yang disertai muntah yang tidak mau berhenti. Saya tahu ada yang tidak beres, makanya dari kamar kos saya memaksakan diri ke rumah sakit menggunakan taksi. Saya memeriksakan diri ke dokter yang kemudian menyarankan saya untuk melakukan serangkaian tes laboratorium. Dokter memberi diagnosis awal yang menakutkan, tapi untuk menyakinkan sebaiknya saya melakukan tes laboratorium.

Hasil tesnya baru keluar hari ini. Diagnosis dokter dan ketakutan saya terbukuti. Seperti jalan yang terhalang kemudian mendadak terang. Sejelas saya melihat titik akhir di ujung pandangan, sebuah kematian.

Saya belum sampai akhir membaca surat hasil analisa laboratorium itu. Belum sampai akhir, saya sudah mengulangnya lagi dari awal. Dengan demikian saya berharap bahwa ada keajaiban yang akan mengubah akhir dari surat tersebut. Tidak sanggup saya meneruskan sampai akhir, saya ketakutan. Baru sampai kalimat kanker stadium 4, saya mengulanginya lagi dari awal. Begitu terus sampai beberapa kali. Saya benar-benar takut mati.

Tapi ada kekuatan yang menggerakan yang entah datang darimana. Kekuatan itu memaksa mata saya yang kabur untuk terus membacanya sampai akhir. Menamatkan ketakutan saya, menyelesaikan sebuah kekhawatiran yang tidak lagi tidak beralasan. Saya meneruskan membaca kalimat setelah kanker stadium 4. Kalimat yang kemudian membuat saya sedikit lega, karena di akhir kalimat selanjutnya saya membaca tulisan : Maaf, anda sedang saya kerjai karena ini April Mop.

Apisindica – Untuk memahami postingan idi diperlukan membaca sebanyak : 1 kali

Note: setelah menulis ini saya mengetok-ngetok kepala dan meja secara bergantian. Knock on wood, knock on wood. Amit-amit, amit-amit.