Halaman

Senin, 28 Maret 2011

Serendipity

Saya tidak tahu apakah kemarin itu hanyalah sebuah kebetulan atau justru takdir Tuhan. Sebuah rencana yang mungkin sudah Tuhan reka untuk saya alami sejak lama. Rencana yang membuat saya mau tidak mau mengingat lagi masa-masa dulu. Saat saya baru pertama kali mengenal apa yang disebut cinta.

Bolehlah cinta pertama itu disebut cinta monyet, tapi bagi saya tetap memberikan kesan yang sebetulnya tidak mudah dilupakan. Pengalaman pertama saya bagaimana menata hati, mengenal cemburu, belajar memaafkan dan tidak egois. Cinta monyet itu jugalah yang mengenalkan saya tentang apa itu patah hati kemudian berdamai.

Saya mengenalnya di kampus. Pertama kali bertemu di parkiran dan setelah itu seringnya juga bertemu disana. Awalnya tidak ada yang istimewa, tapi setelah proses pendekatan yang tidak sebentar saya melihat kualitas lain di dirinya. Kualitas yang pada akhirnya membuat saya benar-benar jatuh cinta kepadanya. Di balik kesederhanaannya saya menemukan apa yang mungkin selama ini saya cari. Sesuatu yang menamatkan rasa penasaran saya tentang apa itu cinta.

Kami menjalani hubungan yang cukup lama untuk ukuran saya yang egois dan seringnya keras kepala. Dia dengan kedewasaannya mampu meredam letupan-letupan emosi yang sering saya pertontonkan. Dengan sabar dia mendampingi kekeraskepalaan saya dengan sering mengalah dan menekan egonya sendiri. Itu semakin membuat saya jatuh cinta kepadanya. Hal itu jugalah yang membuat saya lambat laun berubah karena saya tidak mau kehilangannya.

Tapi sesuatu yang berawal selalu mengandung akhir. Kami dihadapkan pada situasi yang mengharuskan kami memilih perpisahan. Bukan karena kami tidak lagi saling mencintai, bukan juga karena ada orang lain yang mengisi hati salah satu dari kami. Perpisahan harus dijalani karena dia memutuskan untuk kembali ke kota asalnya. Setelah lulus dia memilih untuk membangun kota kelahirannya. Sebuah idealisme yang juga membuat saya jatuh cinta setengah mati kepadanya.

Diantara kami waktu itu tidak ada yang percaya dengan cinta yang berjarak. Naif rasanya mempertahankan cinta berlabel jarak jauh pada usia kami yang masih terbilang muda. Kami memilih perpisahan sebagai jalan keluar. Dan pada perpisahan itu saya mengantarnya ke bandara, hari terakhir saya melihatnya. Sampai kemarin.

Tanpa disangka kemarin kami bertemu dalam acara yang tidak pernah saya bayangkan akan mempertemukan lagi saya dengan dia. Sebuah seminar tentang minyak bumi. Dan secara kebetulan kami berdua menjadi pembicara dalam konteks yang berbeda. Dia berbicara mengenai teknik eksplorasi baru minyak bumi di sumur dangkal, sedangkan saya berbicara mengenai MEOR, perananan mikroba dalam meningkatkan perolehan minyak di dalam reservoar. Kebetulan yang menyenangkan.

Saya melihat dia sekarang sudah jauh lebih dewasa. Lebih matang dari saat kami berhubungan dulu. Waktu sepertinya telah menempanya dan membuat dia menjadi sosok yang tidak lagi sama. Tapi tidak ada yang berubah dari raut wajahnya, senyum itu masih tetap sama. Senyum yang pernah mengantarkan saya menaiki podium ketika saya membacakan pidato kelulusan saya dulu. Senyum yang mengembang ketika kami menyudahi sesi berpelukan di bandara di hari perpisahan itu. Senyum yang menguatkan.

Tapi saya melihat ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak bisa lepas dari pandangan saya. Sesuatu yang membuat saya ikut bahagia untuknya. Tidak ada kesedihan, tidak ada perasaan ditinggalkan. Yang ada hanyalah perasaan gembira karena akhirnya dia menemukan jalannya untuk pulang. Jalan yang mungkin dulu sempat dia ragukan keberadaannya ketika bersama dengan saya.

Saya tidak bisa melepaskan pandangan dari benda itu. Sebuah cincin kawin yang melingkar di jari manisnya.

Apisindica - Untuk memahami postingan ini diperlukan membaca sebanyak : 1 kali

Kamis, 24 Maret 2011

Anonim

Pengalaman. Saya tidak mau lagi punya pacar (nanti) yang tahu kalau saya suka nulis di blog ini. Bukan apa-apa, kadang mereka justru merepotkan dengan cara mengekang kreativitas saya dalam menulis. Sebetulnya mereka tidak pernah bilang saya tidak boleh menulis ini dan itu, tapi saya merasa punya beban mental untuk tidak menulis sesuatu yang akan memperunyam hubungan saya.

Padahal, sering kali saya menulis apa yang ingin saya tulis. Tentang keseharian saya, tentang saya bertemu dengan teman baru yang ternyata lucuu. Tentang mantan-mantan saya yang secara tidak sengaja bertemu atau terang-terangan mengajak saya bertemu (lagi). Saya ingin menulis semua itu tanpa beban, tanpa merasa dimata-matai.

Tidak berniat untuk tidak jujur karena saya sudah punya komitmen. Pantang bagi saya untuk mengingkari komitmen yang saya sudah sepakati hanya karena saya bertemu dengan orang baru yang lucu atau mantan yang masih mengganggu. Kalaupun akhirnya saya menemui mereka, tidak akan terjadi apa-apa karena pasti saya akan bilang kalau saya sudah termiliki. Dan bukan alasan karena punya pacar kemudian saya tidak boleh bersosialisasi dan menuliskannya di blog ini.

Sudah sering saya mendapat pertanyaan “eh itu siapa yang kamu tulis di blog?” dari mantan-mantan yang kadang masih kepo. Atau “aku kenal nggak orang yang kamu temui kemarin?” entah terlontar dari sang mantan atau justru dari seseorang yang masih berstatus pasar saya. Urusan amat mereka. Apa kepentingannya tahu siapa yang saya tulis, kenal atau tidak mereka dengan siapa yang saya umbar lewat tulisan. Kalau terhadap pacar saya selalu cerita semuanya, tapi tidak saya bumbui seperti yang saya tulis panjang lebar dalam tulisan.

Dan yang paling mengganggu adalah ketika sang mantan menggugat dengan mengirimkan komentar dengan status anonim. Kadang komentarnya mempertanyakan, kadang menghakimi, meskipun seringnya hanya menggoda. Tapi itu benar-benar mengganggu saya. Tidak perlulah ikut campur (lagi) dengan setiap detail hidup yang sekarang sedang saya jalani. Hidup saya biarkan saya yang yang menentukan mau diarahkan kemana. Kalaupun menurut kalian saya terlalu bitchy, terlalu naif, atau mungkin terlalu munafik, biarkan itu menjadi urusan saya sendiri. Biar saya yang mempertanggungjawabkannya kelak.

Menulis untuk saya adalah arena kebebasan. Saya memiliki kemutlakan perasaan untuk mengumbar apa yang saya ingin ungkapkan perantaraan aksara dan kata. Dengan hanya membaca tidak ada kemudian hak kalian untuk menggugat, karena sebetulnya kalian juga tidak akan pernah tahu apakah yang saya tuliskan itu benar terjadi atau hasil rekaan saya. Hasil membumbui kejadian singkat yang sebetulnya tidak menimbulkan kesan apa-apa. Saya hanya ingin menulis. Itu saja.

Karenanya, kepada mantan-mantan yang masih kepo dengan hidup saya, yang suka mengintip kegiatan saya melalui apa yang saya tulis disini. Please, jangan ganggu saya (lagi)! Biarkan saya tetap menjadi saya yang dulu, yang sudah menulis sebelum mengenal kalian. Yang suka mengumbar kejadian dalam bentuk postingan-postingan. Yang suka mendokumentasikan fragmen-fragmen hidup dalam narasi terbumbui. Biarkan seperti itu, saya mohon.

Dan, dengan menuliskan anonim bukan berarti saya tidak tahu itu siapa. Saya mengenal dengan cukup rinci seseorang yang pernah dekat dengan saya. Jadi percuma saja kalau mengenakan topeng ketika ingin menghakimi. Saya tahu siapa kamu.

Apisindica – untuk memahami postingan ini diperukan membaca sebanyak : 1 kali

Senin, 21 Maret 2011

Mau Dibawa Kemana

Saya percaya sama karma. Kalau kita melakukan sesuatu yang buruk di masa sekarang, suatu saat kita akan menerima imbalan dari kelakuan itu entah dalam waktu dekat atau waktu yang lama sampai kita sering lupa karma atas apa. Yang pasti karma pasti datang. Pasti. Menurut saya.

Dua kali saya pernah menjadi anak bimbing, di luar pembimbing-pembimbing projects short course. Dan setiap saya menjadi anak bimbing, saya selalu menjadi mahasiswa yang manis. Mahasiswa penurut yang nggak pernah macem-macem. Pertama, karena saya memang manis dan penurut (PLAK!). Kedua, saya hanya ingin cepat lulus. Selama pola pikir dosen pembimbing saya tidak bertentangan dengan pola pikir saya, atau masukannya memang masukan yang harus dipertimbangkan maka saya akan mengikutinya. Saya tidak ingin konfrontasi dengan dosen pembimbing justru menghambat kelulusan saya.

Tidak ada kelakuan yang buruk selama saya jadi anak bimbing. Perasaan. Ya kecuali saya suka menunda-nunda revisi skripsi atau tesis karena kebanyakan nyari duit. Maklum selama konsentrasi nulis skripsi atau tesis dan persiapan sidang, saya menolak semua tawaran pekerjaan. Imbasnya keuangan saya jadi lumayan seret, dan ketika ada tawaran pekerjaan setalah sidang. Saya pasti mengiyakan, padahal revisi belum dikerjakan. Yang penting sudah lulus.

Tapi kenapa sekarang saya seperti terkena karma. Hampir setahun lalu saya diberi (lagi) anak bimbing titipan dari salah satu universitas di tanah jawa. Dia ikut penelitian di lab saya, dan karena materi penelitiannya cocok dengan background pendidikan saya maka saya didaulat atasan untuk menjadi pembimbing tugas akhir mahasiwa tersebut. Sebetulnya saya tidak mau, tapi karena saya pikir dengan membimbing mahasiswa dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan saya akhirnya saya menyetujuinya.

Sebagai pembimbing, saya punya tanggung jawab moral untuk mengarahkan topik penelitiannya. Sebisa mungkin saya membantunya menyelesaikan semua kendala yang dia hadapi ketika melakukan penelitian. Tapi sumpah, mahasiswa ini bebalnya bukan kepalang. Sering tidak nurut dengan arahan saya, sering tidak datang ke lab dan suka bimbingan sesuka hidupnya. Awalnya saya biarkan, tapi lama-lama bikin emosi juga. Buat saya menjadi tanggung jawab moral untuk membimbingnya sampai lulus. Tapi ketika dia berlaku sesukanya, saya juga akhirnya membiarkannya. Hidup dia, harus dia yang bertanggung jawab.

Beberapa lama dia nggak datang ke lab dan tiba-tiba datang dengan hasil penelitian yang sudah rampung. Sebagai pembimbing, wajar kalau saya mempertanyakan semua data yang dia tulis dan analisis. Bukan karena datanya yang memang acak-acakan, tapi saya lebih mempertanyakan dari mana dia mendapatkan data tersebut padahal datang ke lab saja tidak pernah. Saya tidak mau dibohongi, saya punya andil untuk ikut mempertanggungjawabkan semua data yang dia tulis.

Tapi dia berkelit, katanya dia penelitian ketika saya sering tugas luar. Padahal menurut laboran tidak pernah dia muncul. Kemudian saya mempertanyakan data yang sangat kacau tersebut, tidak layak menurut saya data tersebut dijadikan acuan untuk membuat sebuah karya tulis ilmiah. Lagi-lagi dia berkelit, katanya semua data dan analisis sudah disetujui pembimbing pertamanya. Akhirnya saya menyerah, dengan berat hati saya menandatangani surat persetujuan mengijinkannya sidang. Hal ini juga saya lakukan mengingat tengat masa kuliahnya yang hampir batas akhir, kalau dia tidak lulus maka dia akan kehilangan beasiswanya. Saya jatuh iba. Saya menyerah.

Ketika sidang, lagi-lagi dengan berat hati saya membubuhkan tanda tangan di lembar penilaian. Meskipun nilai yang saya berikan adalah nilai batas terendah kelulusan, saya tetap tidak puas. Apalagi melihat kemampuannya menjawab semua pertanyaan yang penguji termasuk saya berikan. Dan sumpah, nilai tersebut saya berikan bukan karena saya sakit hati atau marah terhadap perilakunya, tidak ada masalah tersebut saya bawa-bawa ketika ikut mengujinya. Tapi kemampuannya menguasai materi yang menjadi bahan pertimbangan.Terus terang saya malu. Bukan hanya terhadap institusi saya, tapi juga kepada universitas “ternama” tempat dia kuliah dan terlebih kepada negara saya.

Bukan sok idealis, tapi saya berfikir mau dibawa kemana negara ini ketika penerus bangsanya memiliki mental seperti mahasiswa saya ini. Mudah-mudahan tidak banyak yang seperti dia, dan saya dalam hati mendoakan semoga Tuhan menyentuh hatinya dan mengubah tabiatnya. Demi kebaikannya sendiri. Amin.

Apisindica - Untuk memahami postingan ini diperlukan membaca sebanyak: 1 kali

Kamis, 17 Maret 2011

Kembalilah

Aku tidak ingin bersaing dengan Tuhan.

Bagaimanapun aku akan kalah bersaing. Kalaupun aku tetap bertahan maka tidak akan membawa kebaikan bagi kamu dan bagi aku. Bagi kita. Karenanya aku memilih untuk mundur. Menanggalkan semua kenyamanan yang beberapa waktu lalu pernah kita lalui atas nama sebuah kebersamaan.

Aku tidak bisa memaksakan, sepenuhnya adalah hakmu untuk tidak percaya pada Tuhan. Bukan urusanku kalau kemudian kamu tidak mau menjalankan ritual yang disebut dengan ibadah. Sepenuhnya adalah urusanmu dengan Tuhan, karena masalah ganjaran dan dosa aku tahu kamu sudah memahaminya. Kamu pasti sangat sadar dengan konsekuensinya ketika memutuskan untuk berhenti melakukan penghambaan seperti yang telah agamamu ajarkan.

Tapi ketika ternyata aku ada di salah satu alasanmu untuk meninggalkan ibadah, aku sedikit terusik. Memang mungkin apa yang sempat kita jalani berada pada lintasan yang tidak benar, tapi itu bukan alasan untuk menghentikan semua hubungan vertikal dengan Tuhan. Jangan kemudian berfikir bahwa ibadahmu tidak akan mendapat penilaian karena apa yang kita jalankan. Biarkan Tuhan yang menentukan dan menilai. Tidak pernah ada yang tahu mengenai sudut pandang Tuhan terhadap hambanya. Dan Tuhan tidak zhalim seperti kebanyakan manusia. Jadi kenapa harus membuat standar nilai sendiri?

Bolehlah kamu sebut aku munafik. Melaksanakan ibadah dan perbuatan dosa dalam waktu yang bersamaan. Mengkhinati kepercayaan Tuhan dengan melakukan dosa secara terang-terangan dan kemudian bersujud hanya semata karena kewajiban. Silahkan melabeli aku sepuasmu, tapi jangan melabeli Tuhan. Aku menjalankan apa yang aku yakini, kalaupun dalam perjalannya ternyata aku melalui lintasan yang keliru maka aku anggap itu adalah suratan. Sesuatu yang tidak kuasa untuk aku tolak jalan ceritanya.

Aku memang ambigu, tapi ditengah keambiguanku aku hanya ingin menjalani apa yang sudah dituliskan. Mengikuti perjanjian yang mungkin sudah Tuhan dan arwahku tandatangani sebelum aku mengenal apa itu kehidupan. Tidak lagi banyak pertanyaan yang akan terlontar, karena masa-masa itu sudah aku lewati dengan jawaban yang ternyata masih mengambang. Aku hanya ingin menjalani, kemudian meyakini bahwa Tuhan tahu yang terbaik buat aku. Hambanya.

Maaf kalau kemudian aku beringsut mundur karena seperti sudah aku bilang, aku tidak ingin bersaing dengan Tuhan. Aku tidak ingin hubungan yang kita jalankan kemudian membuatmu berfikir untuk menjauh dari Tuhan. Jangan jadikan aku opsi pilihan ketika kamu ternyata menyertakan Tuhan pada opsi yang lainnya. Tidak setara aku disandingkan dengan Tuhan, apalagi kemudian kamu memutuskan memilih aku dan menganulir keberadaan Tuhan.

Aku tidak ingin hubungan kita membuatmu semakin tidak mengenal Tuhan. Dan apabila cara satu-satunya untuk menyadarkanmu dan kembali pada Tuhan adalah dengan mengakhiri apa yang pernah kita sepakati, maka aku memutuskan untuk mundur. Menterminasi perasaan yang sebetulnya masih bisa untuk ditata dan diperjuangkan.

Kembalilah pada jalan Tuhan, niscaya kamu akan mendapatkan kebahagiaan seperti apa yang telah Tuhan janjikan.

Apisindica - Untuk memahami postingan ini diperlukan membaca sebanyak: 1-2 kali

Senin, 14 Maret 2011

Gempa

Aku ingat kamu pernah menarikku untuk berlindung di bawah meja ketika bumi bergoncang lumayan keras sore itu. Saat itu di rumahmu, dan aku masih sedikit kaget dengan semua yang terjadi. Bumi yang bergoncang, kamu yang serta merta menarikku ke bawah meja sambil melindungi kepalaku, dan bunyi-bunyian entah apa yang masih terasa asing di telingaku. Sungguh penyambutan yang tidak biasa untuk aku yang pertama kalinya menginjakan kaki di negaramu.

Mulai saat itu aku terbiasa, belajar terbiasa. Tentu saja dengan bimbinganmu sebagai tuan rumahnya. Kamu mengajariku dengan detail apa yang harus aku lakukan ketika bumi sedang asik menari cha cha. Itu yang kamu bilang, kamu selalu bilang kalau itu bukan gempa. Itu hanya ritual bumi yang sedang menarikan tarian cha cha. Ritual yang tidak jelas waktunya, tapi sering dilakukan bumi.

Aku bilang kamu bodoh saat itu. Dan kamu hanya tersenyum, senyuman khas yang selalu menenggelamkan bola matamu. Lucu.

Gempa. Sesuatu yang sudah sangat biasa untuk orang sepertimu. Katamu lagi, sejak kecil kamu sudah terbiasa sarapan gempa. Jadi tidak ada yang spesial dengan gempa. Karenanya kamu seringkali mentertawakanku yang panik ketika bumi sedang bergoyang cha cha. Kamu juga sering meledekku dengan bilang kalau mukaku seperti orang kebelet buang hajat saat ada gempa. Kurang ajar.

Tapi gempa-gempa yang dulu sering kita rasakan bersamaan tidak sebesar gempa yang kemarin menggoyang negaramu. Aku yakin itu. Bumi tidak lagi menarikan cha cha yang beritme seperti leluconmu dulu. Dengan kekuatan 8,9 skala Richter aku tahu goyangan seperti apa yang kamu rasakan disana. Ketika aku mendengar berita itu, yang pertama terlintas dipikiranku adalah kamu. Ada khawatir yang tiba-tiba menyelinap.

Sedang dimana kamu saat itu? Apakah kamu sedang di laboratorium mengerjakan proyek-proyekmu? Atau kamu sedang ngabur dari kampus dan singgah di gerai burger seperti waktu dulu kamu sering menculikku? Aku benar-benar khawatir. Memang Tokyo letaknya jauh dari Sendai, tapi di berita aku juga mendengar bahwa di Tokyopun getarannya terasa begitu kuat. Termasuk di kampus kita dulu. Dan aku tahu kamu senang berada di kampus, duduk-duduk di lorong panjang tempat dulu kita sering curi-curi kesempatan untuk berciuman.

Apapun itu, aku dari jauh mendoakanmu. Semoga kamu dan keluargamu baik-baik saja. Tidak ada kerusakan berat yang terjadi di rumahmu. Rumah penuh kenangan, rumah yang ingin rasanya aku mengunjunginya lagi kapan-kapan. Bila kamu kemudian teringat aku yang mengkhawatirkanmu dari jauh, kirimkanlah sebuah kabar yang aku harap sebuah kabar baik. Aku mencoba menghubungimu dan rumahmu tapi masih belum berhasil tersambung sampai sekarang. Adakah kamu mengganti nomer-nomer teleponmu? Atau bukalah saja list emailmu, dan temukan email yang aku kirimkan pagi ini. Tolong balas dan kabarkan. Aku hanya ingin tahu keadaanmu.

Tuhan, ini bahasa Mu yang paling dimengerti. Ampunilah dosa orang-orang yang terkena musibah, dan dosa-dosa kami yang berdoa. Amin. #prayforjapan #prayforindonesia #prayforworld

Apisindica – Untuk memahami postingan ini diperlukan membaca sebanyak : 1 kali

Kamis, 10 Maret 2011

Dear Papa


Pernahkah kita bilang sayang terhadap ayah kita? Kalau pernah coba bandingkan frekuensinya dengan ucapan sayang kita kepada ibu. Saya yakin ibu akan mengungguli ayah dalam perolehan skornya. Entah kenapa, tapi untuk saya mengucapkan sayang secara lisan kepada ibu jauh lebih mudah ketimbang kepada ayah.

Bukan saya bersikap tidak adil, tapi sosok ayah yang berbau maskulin dan kuat membuat kita sedikit risih untuk mengumbar sayang secara lisan. Sebetulnya seorang ayah juga pastinya tahu kalau kita, anaknya menyayangi dia meskipun jarang dilapalkan. Mungkin kultur dan budaya kita yang seringnya memberangus keberanian kita untuk mengucapkan sayang kepada ayah.

Tapi bukan berarti tidak ada cara lain untuk mengekspresikan sayang kita kepada ayah. Banyak cara yang bisa ditempuh untuk membuat ayah kita tahu kalau kita menyayanginya. Salah satunya dalam bentuk surat. Dengan tulisan, kita bisa dengan panjang lebar mengurai betapa sayangnya kita pada seorang ayah.

Saya dan teman-teman penulis lain mengikuti proyek yang diselenggarakan oleh www.nulisbuku.com Kami mengumpulkan surat-surat cinta kepada ayah dari setiap penulis kemudian dibukukan. Buku yang menjadi semacam testimoni bahwa tidak ada anak yang tidak sayang terhadap ayahnya. Proyek ini disebut dengan #dearpapa. Proyek #dearpapa ini adalah untuk charity alias tidak ada imbalan apapun untuk setiap karya yang masuk dan ceritanya terangkum dalam buku-buku yang diterbitkan oleh www.nulisbuku.com ini. Karena apa? Karena semua royalti dari hasil penjualan buku-buku ini akan disumbangkan langsung untuk yayasan sosial. Dengan membeli buku-buku serial #dearpapa secara tidak langsung kita sudah melakukan donasi untuk sebuah Yayasan Panti Jompo di kota Surabaya. Kapan lagi membeli buku sekalian beramal.

Proyek ini menghasilkan 6 buah buku. Dan tulisan saya ada di buku seri ke-6. Jadi kalau misalnya merasa terlalu berat untuk membeli kesemua buku. Beli buku ke-6nya saja yah! :) Caranya gampang kok, bisa buka link ini .Ayo kita belanja buku sambil beramal! Sstttt....Sebagai bocoran, di buku ke-6 ini banyak tulisan-tulisan penulis handal yang sudah malang melintang di dunia tulis menulis. Kalau saya sih baru belajar nulis alias anak bawang. Ayo buruan beliiii!!!!

Senin, 07 Maret 2011

Seperti Selingkuhan

Aku rindu berbicang seperti dulu. Ketika malam-malam aku menyelinap tanpa ada yang tahu kemudian mengajakmu bercakap-cakap. Bergumul dalam obrolan panjang tentang segala sesuatu, dan kamu lebih banyak mendengarkan ketimbang berbicara. Tapi aku tahu, kamu mencermati semua detail yang aku bicarakan. Aku tahu kamu kadang tersenyum kadang mengernyit atau kadang marah.

Aku seperti sedang berselingkuh. Menyambangimu ketika sepi dan tidak ingin diketahui orang lain. Mengendap-endap menyibakan selimut kemudian mengetuk entah itu pintu atau jendela. Yang pasti ketika aku mengetuk maka kamu dengan segera akan mempersilahkan aku masuk. Tanpa banyak berfikir aku pasti masuk kemudian memulai perbincangan yang mungkin hanya berkutat pada persoalan yang sama.

Aku pikir kamu akan bosan. Memprotesku karena hanya berbicara menganai hal yang selalu itu. Tapi ternyata aku salah, di setiap kunjunganku kamu selalu menyambutku dengan tangan yang lengkap terbuka. Tanpa ada tanda-tanda kebosanan kamu dengan seksama mendengarkan keluh kesahku. Mungkin kamu ikut menangis meskipun aku tidak melihat air mata disana, atau mungkin justru kamu marah meski tidak pernah ada bentakan yang memekakkan telinga. Seringnya kamu hanya diam dan aku tetap saja mengajakmu berbincang.

Aku rindu momen-momen itu. Momen sunyi tanpa ada kata yang keluar dari mulutmu ketika aku bertanya tentang sesuatu. Momen dramatis ketika aku sesenggukan bercerita apa yang tengah mengganjal di lubuk perasaan. Dan aku sungguh percaya kepadamu bahwa tidak akan ada satupun yang aku laporkan kemudian kamu sebarkan pada orang lain. Sedemikian percayanya aku sampai-sampai banyak yang pacarkupun tidak tahu tapi kamu mengetahuinya.

Kita berbincang dalam hening seperti selingkuhan, padahal sebetulnya aku yang seringkali menyelingkuhimu meskipun kita tidak pacaran. Aku sering melanggar kesepakatan yang dulu sekali pernah kita tandatangani, bahkan tidak dengan diam-diam lagi. Aku melakukannya di depanmu, dan kamu tidak pernah marah. Itulah kenapa aku mencintaimu. Dimabukkan oleh buaian sayang tanpa syarat yang tidak mengekang. Entah kenapa kamu seringnya hanya diam menyaksikan aku menyelingkuhimu?

Aku rindu bercerita kepadamu. Merinci semua yang tengah aku hadapi sekedar untuk sedikit meringkan beban yang menghimpit. Meskipun kamu akan lebih banyak diam seperti biasanya, tapi aku tidak keberatan. Aku tahu kamu kemudian akan mengirimkan isyarat-isyarat sebagai tanggapan dari semua yang aku ceritakan. Kadang isyarat yang mampu aku baca seketika ataupun isyarat yang membuatku harus lebih banyak meraba, tapi kamu merespon. Membuktikan kalau kamu menyayangiku meski dengan cara yang tidak aku mengerti.

Aku ingin menyambangimu lagi, entah malam ini atau entah malam nanti. Yang pasti aku ingin berbincang intim seperti dulu, mengendap-endap seperti ketika dengan penuh kesadaran aku merasa perlu bercerita kepadamu kemudian mengetuk pintu atau melemparkan batu ke jendela sebagai tanda kalau aku sudah datang. Menunggu dengan was-was sampai kamu membuka pintu atau jendela. Dan ketika aku masuk kamu menyambutku dengan hangat walau tanpa pelukan.

Aku janji aku akan segera mengunjungimu lagi. Aku sudah rindu dengan ritual-ritual yang mendekatkan aku dan kamu seperti waktu itu. Tolong bantu untuk mengenyahkan segala hambatan agar aku dengan mudah terbangun dan menyelinap menemuimu tengah malam. Berbincang seperti layaknya kekasih yang tidak bisa terpisahkan.

Aku rindu padamu, Tuhan.

Apisindica – Untuk memahami postingan ini diperlukan membaca sebanyak : 1-2 kali

Jumat, 04 Maret 2011

Nenek Gerandong

Saya baru pulang dari pedalaman Mamuju. Sebuah kota kecil di provinsi Sulawesi Barat yang untuk mencapai kota tersebut dibutuhkan waktu tempuh sekitar 10 jam dari Jakarta melalui jalur udara dan dilanjutkan dengan jalur darat. Kota yang entah apa bisa disebut dengan “kota”.

Ini kali kedua saya mengunjungi Mamuju. Jangan berpikir kalau saya ketagihan mengunjungi kota tersebut. Tidak pernah sebelumnya terlintas dalam pikiran saya dapat mengunjungi kota yang mungkin namanya saja awam di telinga banyak orang, apalagi sampai dua kali. Jangan juga berpikir kalau saya sedang dalam program menemui belahan hati saya yang sering saya gambarkan dipisahkan oleh rentang jarak. Bukan, dia ada di pulau sebelah, bukan di Sulawesi.

Saya ke Mamuju dalam rangka pekerjaan. Kalau punya pikiran bahwa saya akan keluar dari kerjaan saya sekarang dan memilih Mamuju sebagai tempat bekerja yang baru, tolong segera disingkirkan. Saya punya kenangan yang buruk tentang remote area, dan saya kapok. Jadi tidak akan pernah saya kembali mengulang kenangan buruk itu sampai kapanpun. Ini hanya pekerjaan singkat, konsekuensi dari kerja sama tim saya dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia.

Di Mamuju saya bertemu dengan seorang perempuan yang melemparkan ingatan saya pada masa lalu. Sekitaran tahun 2006. Perempuan yang membuat saya mengelus dada dan mengambil sebuah kesimpulan bahwa di remote area manapun pasti ada seorang perempuan seperti dia. Perempuan tangguh yang mampu bertahan lebih dari siapapun. Perempuan yang merasa lebih hebat dari laki-laki manapun. Perempuan yang punya kesan menyebalkan.

Ingatan saya terbang ke Situbondo di akhir tahun 2006. Di kota kecil tersebut saya bertemu dengan perempuan yang punya titel ditakuti. Perempuan perkasa yang juga dengan kedudukannya disegani banyak orang. Manajer saya. Seorang manajer yang memimpin dengan sistem tangan besi. Perempuan yang menurut teman-teman saya perpaduan sempurna antara nenek lampir dengan nenek gerandong. Perempuan galak dan juga ketus.

Di Mamuju saya juga bertemu dengan perempuan model beginian. Titisan nenek sihir. Koordinator Utama Hama dan Penyakit Tanaman. Dan karena pekerjaan saya disana berhubungan dengan deteksi penyakit tanaman, mau tidak mau saya harus berurusan dengan dia. Dan saya tidak suka. Dia tidak menganggap saya partner tapi lebih ke bawahan. Dia selalu menampilkan opsi tidak percaya dengan apa yang saya lakukan. Dia selalu meremehkan kemampuan saya dalam melaksanakan sampling. Dan saya merasa diintimidasi secara tidak langsung.

Sebetulnya saya tidak peduli karena dia bukan atasan saya. Dan saya tidak punya tanggung jawab sedikitpun untuk melaporkan pekerjaan saya kepadanya. Saya bekerja sama langsung dengan direktur perusahaannya dan bukan dengan dia, jadi kenapa harus repot mengurusi tabiatnya yang terlihat tidak bersahabat. Tapi karena dia ada dan nyata di setiap kegiatan saya selama di Mamuju, sedikit banyak saya teriritasi dengan keberadaannya. Mungkin dia merasa terancam, padahal tidak ada sedikitpun niatan saya untuk mengambil posisinya. Seperti saya bilang, tidak akan pernah mau lagi saya bekerja di remote area. Bekerja di sana hanya membuat saya gila.

Saya hanya ingin bilang sama si ibu ini, jangan merasa terancam dengan keberadaan saya. Saya hanya bekerja sesuai porsi saya. Dan saya orang luar, saya sangat tahu itu. Saya hanya peneliti yang di’hire’ untuk melakukan riset lepas tentang kejadian luar biasa yang sedang berlangsung. Jadikan saya partner bukannya musuh karena kalau kita bersinergi, pasti masalah serangan Ganoderma boninense pada kelapa sawit dapat kita atasi dengan segera.

Saya kemudian tergelitik untuk bertanya kepada Tuhan. Tuhan, kenapa selalu Engkau ciptakan wanita model begini untuk bekerja di tempat-tempat yang jauh dari peradaban?

Apisindica – Untuk memahami postingan ini diperlukan membaca sebanyak : 1 kali

Note : Ganoderma boninense adalah jamur penyebab busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit yang menyebabkan robohnya pokok batang. Penyakit ini menyerang kelapa sawit dari sejak bibit tetapi baru terdeteksi setelah pohon kelapa sawit berusia 7 tahun sehingga merugikan karena penangannya yang relatif terlambat.