Halaman

Senin, 27 Desember 2010

Twenty Nine

29 putaran penuh sudah saya lewati. Putaran dengan lintasan yang berbeda-beda meski jaraknya selalu sama. Putaran yang selalu melingkarkan saya dengan banyak pembelajaran, baik itu melalui kebahagiaan ataupun dengan kesedihan. Semuanya saya masukan kedalam jambangan, untuk suatu hari nanti dibaca kembali sebagai testimoni. Semacam dokumentasi.

29 putaran penuh saya sudah melesat bak anak panah yang terlontar dari busurnya. 29 kali tali busurnya meregang dan melemparkan saya pada putaran dengan lintasan yang selalu tidak sama. Mengantarkan pada undakan-undakan menanjak untuk sekedar meretas mimpi, membuatnya menjadi tidak lagi maya. 29 putaran yang memberi saya banyak pengalaman bahwa tidak semua mimpi dan harap bisa direalisasi. Banyak sekali mimpi yang kadang memang harus dipelihara hanya sebagai mimpi.

Seperti putaran-putaran sebelumnya, malam ini saya duduk dalam kesederhanaan. Menikmati kesunyian yang disabdakan alam. Saya mencoba mentafakuri semua yang sudah terjadi dalam hidup saya. Merefleksi semua kejadian dengan beragam perspektif yang kemudian diakhiri dengan perasaan syukur yang teramat dalam. Hari ini saya diberi kenikmatan lebih. Menjejak di usia 29 tahun.

Saya tidak lagi muda. Sudah jauh saya beranjak dari titik nol. Sudah beragam macam persinggahan saya kunjungi, ternyata sampai titik 29 ini saya masih ambigu. Masih sedemikian betahnya diayunambingkan abu-abu, masih sebegitu nyamannya dibelai kelabu. Saya tidak akan lagi mempertanyakan karena bertanya ternyata tidak membuat saya kemana-mana. Saya hanya akan menjalani dengan amunisi keiklasan sepenuh yang saya mampu. Meniti guratan ini sebagai takdir yang hanya harus dijalani.

Tidak ada pesta malam ini, tidak ada keriaan dengan menghentak lantai dansa, bahkan tidak ada nyala lilin yang harus dipadamkan. Saya hanya ingin duduk mencumbui sepi sambil bersyukur atas apa yang sudah dialami. Merenung tentang semuanya dengan perasaan indah. Penuh kepasrahan.

Malam ini, saya Apisindica mengucap ribuan syukur kepada Tuhan untuk kesempatan menjalani 29 putaran tanpa henti. Menguntai ribuan serak doa agar Tuhan senantiasa berada di samping saya bahkan ketika saya sedang alpa. Saya yakin Tuhan punya kapasitas itu, tak akan pernah berpaling dalam membimbing saya. Tak lupa, dengan segala kerendahan hati saya juga mengucap beribu terima kasih kepada keluarga, teman, sahabat, kolega atas semua pengalaman yang telah diberikan sehingga memberi coretan tersendiri dalam hidup saya. Tanpa bantuan, doa serta dukungan dari kalian semua, saya tahu saya tidak akan menjadi siapa-siapa. Terima kasih sudah menemani saya menjalani setiap putarannya. Memiliki kalian semua adalah berkah yang tidak akan saya sesali sampai mati.

Doa saya yang paling utama hari ini sama dengan tahun-tahun sebelumnya, semoga saya diberi kesempatan untuk terus bertransformasi menjadi manusia yang lebih baik dari sekarang. Merangkak dan belajar menjadi seseorang yang hidup dalam kebenaran menurut Tuhan, bukan lagi kebenaran menurut saya.

Tuhan, saya hanya ingin bahagia. Kalaupun bahagia menurut saya sangat sulit untuk dikabulkan, maka ijinkan saya meminta diberi kebesaran hati untuk berdamai dengan jalan yang telah Engkau gariskan. Ijinkan saya meminta perasaan sederhana yang terus bertambah subur dalam memaknai takdir yang telah Engkau tuliskan. Biarkan saya terus belajar mengerti bahagia yang telah Engkau tentukan.

Rabu, 22 Desember 2010

Unconditional Love

Posisinya tidak akan pernah tergeser oleh apapun dari hati saya. Menempati sudut terindah yang memang khusus saya sediakan untuknya. Bolehlah banyak yang hilir mudik mengisi ataupun sekedar lewat menambah mozaik hati dan mengubah komposisinya, tapi dia akan selalu berada di tempatnya. Tidak bergeming.

Saya tidak keberatan ketika kemudian saya selalu dikaitkan dengannya. Dibilang kalau saya seperti terikat dan tidak bisa beranjak dari bayang-bayangnya. Sampai kapanpun dia tidak akan pernah jadi masa lalu, tidak akan terhapus bahkan ketika puzzle hati saya berbentuk penuh saat ada seseorang yang kemudian datang menawarkan cinta lain.

Buat saya, cintanya tidak bisa dibandingkan. Tidak akan ada tandingan. Cinta lain boleh saja mati meranggas diganjar kerontang, boleh saja tenggelam digulung gelombang. Tapi saya yakin cintanya akan seperti biasanya, tanpa syarat. Tidak banyak aturan yang mengekang dan membatasi saya untuk berlaku ini dan itu. Cintanya indah.

Kadang saya berpikir telah berlaku tidak adil. Tidak mampu saya menyamai apa yang telah dia beri, tidak sanggup saya membagi perasaan yang harusnya membuat dia bahagia. Namun seperti yang telah saya duga, dia tidak pernah mempermasalahkan itu. Tidak membuat dia kemudian memadamkan cinta yang menyala dengan pendar yang asalnya entah dari mana. Tidak pernah meredup bahkan ketika hujan mengguyurnya di hampir setiap kesempatan.

Saya ingin belajar darinya tentang cinta. Bagaimana ikhlas mencintai tanpa menuntut untuk dicintai dengan porsi yang sama. Belajar agar tanpa pamrih menyemai benih kebaikan dan sayang tanpa berharap bahwa di akhir masa tanam dia akan mengeruk keuntungan. Belajar bahwa mencintai tanpa syarat itu semudah menghela udara. Seringan meniup buih sabun. Segampang itu.

Dia mencintai saya seperti itu. Dengan indah.

Dia saya panggil Mamih. Seorang perempuan perkasa yang dari rahimnya yang agung saya kemudian dikenalkan pada hidup. Hidup yang ternyata tidak mudah untuk dijalani. Tapi berkat cintanya semua bisa dilalui, membuatkan saya jalan alternatif untuk keluar dari berbagai kemelut. Meratakan titian terjal berbatu yang harus saya tempuh. Semua berkat cinta tanpa syarat dari Mamih.

Hari ini, saya yang tidak akan pernah bisa menandingi cinta yang sudah dia beri hanya ingin mengucapkan kalimat sederhana: SELAMAT HARI IBU, MAMIH! Semoga saya bisa terus membuat Mamih bangga dengan jalan saya sendiri. Karena seperti yang sering Mamih bilang, saya pasti memiliki jalan khusus untuk membuat Mamih bangga dan bahagia.

Mungkin Mamih belum bangga dan bahagia karena saya belum berkeluarga seperti keinginan Mamih. Tapi percayalah, kalau saya akan menempuh jalan lain untuk membuat Mamih bangga. Kebahagiaan bukan hanya bisa diraih dengan berkeluarga. Saya yakin Mamih mengerti itu. Waktu saya hanya belum tiba, karenanya saya tetap memohon doa Mamih untuk kebahagiaan saya. Apapun itu bentuknya.

Doakan saya Mih! Seperti saya yang mendoakan Mamih di hari ibu ini agar semua apa yang belum Mamih raih bisa dijangkau dalam rentang waktu yang tidak lagi lama. Amin.

Jumat, 17 Desember 2010

Menyiasati Waktu

Saat ini saya memiliki kesibukan baru. Bukan menulis jurnal-jurnal ilmiah yang membuat muntah darah, bukan juga direpotkan oleh tagihan laporan akhir tahun yang memusingkan, atau dibuat mati rasa saat molekul-molekul DNA yang tidak mau muncul setelah serangkaian proses isolasi panjang yang menghabiskan waktu di laboratorium. Bukan itu.

Kesibukan baru ini kemudian membuat saya menyadari kalau saya ternyata belum mempelajari tentang hal ini sebelumnya. Sudah sering saya menepi kemudian menetap dan diakhiri dengan beranjak lagi. Telah banyak pelajaran yang saya catat di buku perjalanan hati untuk sekedar mengingat apa yang boleh dan tidak boleh saya ulangi di perjalanan berikutnya. Tapi ternyata saya luput tentang sesuatu. Sebuah pengalaman yang baru saya alami sekarang.

Menjalani LDR bukan kali pertama buat saya. Berat memang, tapi bukan hal yang mustahil untuk dijalani. Bukan sesuatu yang lantas harus dihindari karena ketika kita percaya kalau kita bisa maka segalanya akan berjalan seringan udara yang kita hela. Jadi kalau sekarang saya kembali dititipi Tuhan seseorang dengan paket lengkap jarak dan waktu, saya siap. Benar-benar siap. Tidak ada keraguan sedikitpun untuk kemudian mematikan semua rasa yang sudah terlanjur dibelanjakan. Tak akan ada istilah beringsut mundur untuk menurunkan jangkar sebelum saya berlayar. Saya sudah siap.

Banyak yang sangsi dan meragukan. LDR menurut mereka terlalu berat buat saya yang sudah mereka kenal sepak terjangnya sedemikian rupa. Akan sulit katanya bagi saya untuk sekedar menjaga hati kemudian menguatkan tekad. Saya hanya bisa tersenyum, tapi akan saya buktikan kalau mereka salah. Akan saya tunjukan kalau saya kuat, apalagi seseorang titipan Tuhan itu menyayangi saya sedemikian rupa. Menyayangi dengan kapasitas yang luar biasa besar. Masih perlukah saya mencari “hiburan” sesaat dengan mempertaruhkan apa yang sudah dia berikan? Tidak.

Saya tahu benar bahwa sosok sangat diperlukan dalam sebuah hubungan. Kadang dengan bersentuhan kita merasa bahwa kita memang termiliki. Bahkan hanya dengan saling berpandangan kita akan jauh menyadari kalau kita memang bersama seseorang yang harus dipertahankan. Saya mengamini semuanya. Tapi kemudian saya menelaah apa yang telah saya jalani dengannya selama beberapa waktu. Dan itu cukup. Cukup untuk saya tetap berjalan dengannya tanpa harus senantiasa bersentuhan ataupun berpandangan. Caranya memperlakukan saya jauh lebih dari kehadiran sebuah sosok.

Saya menikmati kesibukan baru yang untuk pertama kalinya saya pelajari. Mencoba menyelaminya dengan segenap hati. Bereksperimen ini dan itu untuk sekedar menemukan formula yang pas, sehingga ketika hal itu diulang kembali tidak perlu banyak pikiran bagaimana menyikapinya. Kesibukan meramu bagaimana dua sosok yang katanya saling mencintai itu bisa bertemu dalam kisaran waktu yang juga terbatasi. Memanfaatkan setiap jengkal kemungkinan untuk sekedar menghidupkan rasa sayang secara terus menerus. Membuatnya tetap menyala.

Belakangan ini saya disibukan oleh kegiatan itu. Kegiatan menyiasati waktu yang seringnya tidak cocok agar saya dan dia bisa bertemu. Suatu kegiatan yang dirasa mahal, bukan karena memang memaksa salah satu untuk terbang tapi juga karena batasan yang dihadirkan waktu. Apapun itu, saya menikmati disibukan olehnya, karena saya yakin bahwa imbalan dari semua itu adalah sebuah pertemuan. Pertemuan yang akan membuat saya semakin terpatri kepadanya. Selamanya.

Rabu, 08 Desember 2010

Kerinduan

Apa yang aku senangi dari sebuah long distance relationship?

Perasaan rindu. Bagaimana aku harus menata hati, mengatur perasaan yang seringkali membuncah untuk sekedar melihat senyum itu tersungging di wajahnya. Rindu senantiasa membawaku untuk selalu teringat kepadanya. Memagari hati.

Boleh bilang aku berlebihan, karena aku yakin di luaran sana banyak orang yang tidak setuju dengan apa yang aku kemukakan. Long distance relationship katanya pasti lebih banyak menyusahkan, membatasi gerak langkah ketika ingin bertegur sapa dengan nyata. Mengungkung perasaan yang seharusnya lancar tertata dalam ruang penuh kebebasan.

Banyak aku menyetujui, mengamini semua hal yang menyulitkan dalam sebuah hubungan yang berjarak. Tetapi ketika kita sudah memutuskan untuk menjalaninya, kemudian selalu mengcomplain tentang apa yang sebetulnya sudah kita ketahui konsekuensinya maka itu hanya akan membuat kerdil. Membuat tandus perasaan yang semestinya bisa dibuat subur bahkan pada saat musim gugur.

Aku menikmati rindu. Mengabadikannya dalam berlembar-lembar surat cinta. Surat yang kadang aku tulis dengan perasaan bahagia ataupun dengan air mata. Keduanya menjadi semacam pupuk yang menyuburkan rindu. Membuatnya berbunga di halaman yang kering walau hujan selalu memapah di ujung penglihatan.

Surat berisi rindu aku simpan di buritan, di ujung belakang sebuah kapal yang pastinya sedang berlayar. Kemudian aku berdoa, berharap bahwa akan ada gelombang yang menerjang dan menghanyutkannya ke negeri sebrang. Tempat dimana rindu itu semestinya bermuara, tempat dimana rindu itu menemukan tuannya. Hati seorang kekasih.

Hujan boleh saja turun mengaburkan penglihatan. Meninggalkan becek di jalan tanah yang membuatnya menjadi sukar dilewati. Tapi hujan tidak akan menyurutkan rindu untuk bersanding di tempatnya. Tidak akan kemudian membuatnya kehilangan pijakan untuk melangkah, mencari bagian-bagian yang tidak tergenang untuk sampai di tujuan. Sudah ditasbihkan kalau rindu pasti akan menemukan jalannya. Mengakhiri pengembaraannya dan melempar sauh kemudian berlabuh.

Pagi ini aku terbangun dan merasa rindu. Kubuka jendela kemudian kuterbangkan dia ke angkasa. Kulihat dia melayang kemudian menghilang di balik awan. Dia tidak lagi terinderai retina, tapi aku punya keyakinan kalau dia akan sampai ke tujuan. Mewartakan sebuah kisah tentang kerinduan yang tertahan.